14 - END

9.4K 1.2K 127
                                    

Semilir angin menyusup melalui celah jendela flat dengan gesit. Pukul satu pagi, agaknya gadis Park itu enggan menutup rapat matanya yang sudah membengkak.

Jihye duduk di ranjang sang kekasih. Termenung untuk beberapa waktu sebelum menyiapkan diri untuk membuka surat yang Jungkook berikan padanya.

Kertasnya berwarna biru; sama seperti warna kesukaan Jihye akhir-akhir ini karena makna dari warna tersebut.

Membuka lipatan kertas, Jihye memahami bahwa tangisnya akan kembali luruh dengan cukup deras.

Di atasnya, tersemat nama Park Jihye dengan tulisan tak begitu rapi. Di baris-baris berikutnya, Jihye mulai merasa seolah lehernya dicekik dengan puluhan tali lalu ditenggelamkan pada sungai yang paling dalam.

Park Jihye, Hidupku.

Aku tidak pernah menahu soal apa yang membuat hatimu sebening air. Meskipun aku tahu bahwa pancaran manikmu tak sebersih salju.

Aku tidak pernah menahu soal kenapa yang membuat hatiku sekotor sampah. Bahkan aku tahu bahwa pancaran manikku tak bisa seindah milikmu.

Untuk aku yang selalu mengabaikan ketulusanmu ... tolong maafkan aku. Dan untuk aku yang selalu meninggalkan kehidupanmu ... jangan benci aku.

Aku pernah berjanji untuk terus berada di sisimu. Maka, aku berada di sampingmu sekarang.

Aku bisa melihatmu membaca tulisanku dengan air mata yang mengalir terus-menerus—atau barangkali batinmu terus mengumpat. Tidak apa-apa.

Kau bilang aku brengsek. Kau benar.

Tidak ada sedikit pun ucapanmu yang salah semenjak aku mengenal lebih dalam siapa bidadari pemilik nama Park Jihye.

Kau selalu memberikan terang, kendatipun aku selalu memberikan gelap.

Maaf ... dan terima kasih.

Tolong jangan mencariku, sebab aku selalu di sisimu; sesuai janjiku padamu. Aku tidak akan ingkar, Sayangku.

Tersenyumlah. Setiap malam, aku akan memelukmu meski dingin masih enggan untuk pergi.

Berhenti menyakiti dirimu hanya demi aku yang tak sekali pun memberimu warna.

Aku hanya berharap kau untuk menjaga dia. Aku yakin sekarang dia tumbuh dengan baik. Setidaknya, aku telah meninggalkan sebagian hidupku di dalam perutmu.

Aku mencintaimu. Dan kau benar. Hanya Park Jihye yang bisa memenuhi seluruh hatiku.

Maaf karena tidak bisa berjanji untuk bertahan. Aku sudah berusaha, tapi kebencian pada diriku adalah pemenangnya.

Jika ada yang nakal padamu, beritahu jagoan kita dan suruh dia untuk memukul perut-perut orang itu. Tapi jangan ajarkan dia menjadi pemuda lemah sepertiku. Cukup aku saja.

Em ... jika laki-laki, tolong beri dia nama Jeon Gukie. Dan jika perempuan, aku menyerahkan semua padamu.

Harus margaku. Kalau tidak, aku bersumpah kau tidak akan bisa melihat sisi lain dari diriku di kehidupan jagoan kita.

Aku bercanda—tapi tetap mencintaimu.

Mulai sekarang, biarkan jagoan kita yang melindungimu.

Hiduplah dengan baik. Aku pergi.

Dari yang mencintaimu,
Jeonie.

Benar. Jihye menangis semakin deras. Tangannya yang gemetar berjalan menyusuri perut ratanya.

Jihye tersenyum sesaat. Ingat bahwa mereka sempat melakukan kegiatan di atas ranjang bersama tanpa pengaman. Dan untuk pertama kalinya.

Jungkook akan pergi meninggalkannya, dan pemuda itu sudah berencana lebih dulu; menyusun dan mengatur segalanya dengan apik sebelum menghilangkan jejak.

Kondom tak pernah tertinggal selama ini, tapi tiga hari yang lalu ... rasanya Jihye ingin memukul Jungkook jika pemuda itu ada di sampingnya.

Tapi—ah, Jungkook memang ada di sampingnya sekarang. Pemuda itu telah berjanji.

Maka Jihye kembali mengulas senyum tanpa menyeka air matanya. “Kau benar di sini, Jeonie?” tanya Jihye lirih. “Kau tidak brengsek. Tidak. Karena aku mencintaimu.”

Jihye meremas kertas di tangannya. “Apakah kau bisa kembali jika aku terus tersenyum? Apakah kau bisa kembali jika aku benar-benar hamil? Apa bisa?”

Hening. Hujan mendadak datang, membuat Jihye memeluk tubuhnya sendiri. “Kenapa tidak menjawabku?” Gadis itu menggigil. “Aku kedinginan, Jeonie ... peluk aku. Tolong peluk aku dan buktikan bahwa kau memang ada di sisiku!”

Gadis itu menatap nanar pada kakinya yang terluka. “Kenapa pergi? Kenapa pergi di saat aku butuh bahumu untuk bersandar? Aku hanya ingin kau, bukan pelukanmu.”

Jungkook benar. Saat Jihye menangkap bingkai-bingkai foto di kamar Jungkook, gadis itu sepenuhnya mengingat kalimat Jungkook.

Tidak. Jungkook bahkan mencibirnya bahwa gaya pacaran Jihye terdengar berlebihan dan kekanakan. Jungkook juga sempat menyematkan, “Nanti kau pasti menangis kalau aku tinggal.”

Jihye sekarang tahu alasan pemuda itu selalu mencibirnya. Jungkook hanya takut Jihye menangis setelah melihat potret-potret kebersamaan mereka—sebab ia berencana pergi.

Dan tentang keinginan Jungkook memiliki dua anak kembar, Jihye hanya berharap semoga impian pemuda itu betul-betul terjadi.

Menjilat bibirnya, Jihye lagi-lagi tersenyum pahit. “Jadi ini yang kau bilang hari yang panjang?” Satu bulir likuid menetes lewat ekor matanya. “Ini juga alasanmu bermain lembut dan melupakan pengaman? Kau merencanakan semua, Jungkook-ah?”

Suara detak jarum jam ikut serta mengisi kekosongan. “Apakah kau yakin aku bisa mengurus jagoan kita dengan baik? Kupikir aku tidak sanggup melakukannya,” gumamnya seraya terkekeh singkat.

“Apa yang harus aku lakukan jika dia nakal? Apa aku harus memukulnya? Membentaknya? Atau apa? Aku tidak tahu, hiks.”

Jihye memukul dadanya yang sesak. “Kalau kakek dan nenek juga meninggalkanku ... lantas aku bagaimana, Jeonie? Kenapa kau setega ini padaku? Kenapa ...?”

Suara seraknya menggema di seluruh kamar Jungkook. Jihye sakit dan perih. Jungkook-nya pergi, sedang jauh di depan sana semua jalan berliku masih harus ia pijaki sendirian.

Tidak ada lagi tangan besar yang menggengamnya dan menemaninya untuk ikut melangkah meski kesakitan terus menggerogoti.

Jungkook lebih dulu menyerah sebelum mereka menemukan tempat terbaik usai menapali seluruh jalanan. Kini, Jihye dibiarkan melangkah sendirian tanpa kekuatan lengan yang membantu.

Setelah termenung cukup lama untuk mengurangi rasa sesak di dadanya, Jihye kemudian menutup mata dengan posisi masih memeluk kedua lututnya di atas ranjang.

Di sela-sela napas yang mulai teratur, Jihye bergumam lirih, “Terima kasih juga karena telah hadir—dan menghadirkan kau yang baru di kehidupanku. Aku mencintaimu.” []

———

Dear Jungkook. Selamat ulang tahun. Terima kasih untuk seluruh senyum dan kebahagiaan yang selalu kau berikan—tanpa menunjukkan sisi kesedihanmu sama sekali.

Kami mencintaimu.

Noted,
Project birthday ini dari seluruh Army, untuk Army dan Jeon Jungkook.

-01 September 2019
ymowrote

Forget to Remember ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang