Embun masih belum berevaporasi ketika Taehyung merasa sedikit terganggu dengan usapan lembut di garis tulang punggung-nya.
Yakin itu Jeon Jungkook. Taehyung sedikit merutuk jika mengingat ini sudah kesekian kalinya yang lebih muda pindah ke kamarnya. Bertanya-tanya apakah kamar si manis tidak nyaman?
"Apa lagi masalahmu kali ini?" tanyanya serak seraya memutar tubuhnya 180 derajat. Benar saja, ada Jungkook yang menatapnya gugup. Tangannya menggantung ketika kegiatannya mengusap punggung Taehyung harus terputus secara tiba-tiba.
"Ahh- tidak ada. Ku pikir kau sudah terbiasa dengan kebiasaanku ini." jawabnya pelan. Manik hitamnya sudah jatuh pada jemarinya sendiri yang saling mengait di depan dada.
Jungkook shirtless lagi. Sama seperti dirinya, dan Taehyung mulai tak nyaman dengan kenyataan itu.
"Kenapa kau seperti ini, Jeon?" tanyanya. Jungkook masih dapat menangkap sirat marah dari suara rendah Taehyung.
Kicauan burung mugpie di pohon maple seolah menjadi backsound. Taehyung terlihat menunggu jawaban Jungkook dengan sabar, namun nyatanya pria itu tengah menahan emosi yang membelenggu dan siap meledak kapan pun.
"Hyung." panggil Jungkook, tetap setia memainkan jarinya yang saat ini justru mendekat pada dada bidang Taehyung. Sedangkan pria yang dipanggil tidak menyahut sedikit pun.
"Aku juga ingin memiliki tato."
.
Deburan ombak mengisi udara. Sesekali Jungkook menyelipkan rambut ikalnya ke telinga kiri kala angin terus mengajaknya bermain. Langkah kakinya tertuju pada sosok yang duduk di kursi roda, menatap kosong ke arah hamparan lautan di hadapannya.
"Eomma."
"Jungkook-ie! Kau baru kembali dan lebih memilih mencari masalah denganku terlebih dahulu sebelum menanyakan kabarku?"
Jungkook tergelak. Memandang jenaka pada pemuda cantik yang menoleh padanya namun tidak dengan pandangannya.
Manik kelabu itu seolah masih menatap laut.
"Ahh- baik. Baik. Bagaimana kabarmu, Seokjin-ie?" Jungkook membuat nada bicaranya sedikit mendayu.
Seokjin merengut. Pupilnya bergerak, namun masih belum menatap tepat ke arah mata Jungkook. "Mahal sekali sepertinya agar kau memanggilku hyung." keluhnya.
Sesaat kemudian keduanya tenggelam dalam tawa yang membahana. Saling bersahut-sahutan dengan deburan ombak di bawah tebing.
.
Busan adalah kota kelahiran Jungkook. Begitu banyak hal yang terjadi hingga ia berakhir tinggal dengan Kim Seokjin. Senior di masa sekolah dahulu.
Seokjin itu cantik. Semua orang mengakuinya meskipun tahu bahwa dia adalah seorang pria. Perangainya cukup baik, selain pemalu berat dan tidak bisa menyaring perkataannya sendiri hingga menyinggung berbagai pihak.
Tidak ada yang tahu bagaimana Kim Seokjin di rumah. Ia bertemu dengan Jungkook saat dirinya mengiklankan sharing room di salah satu koran real estate. Mereka berdua sangat dekat layaknya kakak adik meskipun tinggal bersama hanya 3 bulan sebelum Seokjin memilih pindah.
Alasannya tak disangka-sangka.
Pemuda malang itu tidak memiliki orang tua, sehingga mudah tergoda rayuan dengan iming-iming kasih sayang.
Seokjin dibelikan rumah oleh kekasihnya untuk tinggal bersama disana. Hanya bertahan 4 bulan sebelum ia diselingkuhi.
Bedebah beruntung kalau kata Jungkook.
Rumah tempat tinggal bersama mereka dijadikan milik Seokjin sepenuhnya. Rumah mewah berluas lebih dari 1 hektar. Rumahnya sederhana dengan 2 lantai yang terbuat dari kayu khusus.
Sekali lagi, "bedebah beruntung.".
Sudah 6 tahun berlalu, tapi Jungkook masih menyukai sebutan itu. Tidak berbeda dengan Seokjin.
Rumah nyaman di pinggir tebing. Tebing milik pribadi, pantai milik pribadi, hutan pinus milik pribadi. Siapa yang akan menolak dengan alasan harga diri?
"Bagaimana warna awannya saat ini, Koo? Benarkah biru?"
Selanjutnya, Jungkook lupa satu hal.
Kecelakaan 2 tahun lalu membuatnya kesal setengah mati. Tidak ada gunanya menyesal, toh semuanya sudah terjadi. Tapi batinnya masih terus menyalahkan diri tiap bertatapan dengan manik kelabu Seokjin.
Tertusuk koral, dan Jungkook menjadi lebih mencintai pasir pantai dari pada mencari keong di tumpukam karang.
Jungkook menengadah, lalu tersenyum tipis.
"Hm. Biru dan sangat cerah."
Kim Seokjin itu sangat berharga bagi Jungkook. Lebih berharga dari permata langka manapun. Sosok itu yang memberikan Jungkook gambaran pengganti seorang ibu.
Seokjin menghela nafas berat. Terkekeh pelan. "Tidak ingin mengenalkannya padaku? Padahal aku menunggu sedari tadi."
Gugup hingga ke tulang. Jungkook melirik takut-takut ke arah pintu beranda lantai bawah. Memberikan senyum lebar penuh paksaan pada sosok Taehyung yang berdiri diam. Tampak tak minat dengan apapun yang ada di depannya.
Bibirnya bergumam, mengutuk Taehyung dengan semua kata kutukan yang ia tahu.
Sesungguhnya Jungkook tidak ingin Seokjin mengetahui apapun mengenai pekerjaannya. Sebab itu beberapa menit yang lalu ia sudah mencoba memohon pada Taehyung agar tidak masuk ke dalam rumah.
Pendengaran tunanetra, jauh lebih tajam dari pada yang lain.
Pertanyaan Seokjin barusan adalah hal yang paling dihindarinya. Jungkook benci berbohong, sungguh. "Dia Taehyung. Teman ku."
Benar saja. Kedua alis Seokjin naik turun, lengkap dengan kedua sudut bibirnya yang kaku, tersenyum paksa. Jungkook tahu ekspresi itu.
Kim Seokjin tengah menggodanya.
"Urusanmu sudah selesai, chagi?"
Kelopak mata Jungkook menutup secara otomatis. Menekan kuat-kuat ketika darah mengalir deras ke pipinya. Batinnya bertanya-tanya permainan apa yang tengah direncanakan tuannya itu.
"Ingatkan aku jika seorang teman dapat memanggil chagi dengan bebas."
•~•
THANK YOU
KAMU SEDANG MEMBACA
EPITOME: LUNISOLAR [TAEKOOK/VKOOK]
FanfictionHe is the strongest, and the weakest person. Ketika pria paling kuat hancur, ia tidak sanggup menangis . - EPITOME: LUNISOLAR Bahasa - Kim Taehyung x Jeon Jungkook