2 - DUA SISI

34 11 7
                                    

Ia yang menjadi bagian dari masa lalumu, mungkin bukan hanya berakhir sejarah yang dapat diambil pelajarannya. Namun juga menjadi bagian dari masa depan yang dapat kembali hadir sewaktu-waktu. Mengisi kekosongan hidupmu, dan membuatnya jauh lebih berharga.

-LAKUNA-

"Jadi, dia siapa?"

Segelas americano tersaji di hadapan dua orang manusia malam itu. Musik mengalun pelan, seiring hujan yang turun malu-malu menyentuh permukaan bumi. Aroma tanah basah menguar masuk ke dalam ruangan tiap pintu kafe dibuka. Bel kecil turut mengiringi langkah kaki orang-orang yang datang berkunjung hanya untuk melepas penat dengan ketenangan atau sekadar mengerjakan tugas yang diberikan.

"Cuma temen."

"Terus kenapa harus marah? Hak lo apa?"

Pemuda di hadapannya tampak membenarkan posisi duduk. Sedikit gugup karena tatapan Natha yang tampak mengintimidasi. "Ya, gimana, ya. Gue udah into dia banget, Nath. Gak bisa tiba-tiba ngelepas?"

"Ih bodoh bener. Ya kalo emang udah sreg, hak patenin dodol. Ini gitu-gitu terus. Jalan di tempat, pengecuuuuut!"

Pemuda itu sudah terlampau tahu resiko berkonsultasi dengan seorang dewi cinta milik sekolahnya ini. Natha itu frontal, namun ucapannya terbukti akurat. Maka dari itu, bukannya sakit hati, orang-orang justru bersyukur karena Natha berhasil mengubah mereka hanya dengan perantara lisannya. Tentu saja, konsultasi tidak selalu dilakukan di sekolah. Menurut Natha, masalah itu bisa datang kapan saja dan di mana saja. Termasuk sekarang ini. Menghadapi seorang Gema Anggara, anak jurusan sosial yang tengah terombang-ambing dalam kisah percintaannya.

"Ya abisnya gimana. Kalo gue tembak, di tolak malu—"

Belum sempat ucapan Gema berlanjut, terdengar gelak tawa dari dalam mulut Natha. Pantas saja, lelaki kok mentalnya lemah. Menurut Natha, kalau berani berbuat, harus berani mengambil resiko. Contohnya, jika Gema berani mencintai seseorang, seharusnya menyatakan cinta bukanlah hal yang besar, kan?

"Malu kali sama tampang. Cakep gitu, lo mestinya pede. Kalau pun Diana nolak lo, ya elah itu ada barisan para mantan yang siap lo naikin lagi pangkatnya jadi pacar," ujar Natha sembari terbahak-bahak. Beruntung suasana kafe malam ini ramai, jadi tak ada yang sadar jika di pojok ruangan, meja pinggir kaca, ada seorang gadis yang tengah tenggelam dalam gelak tawa.

"Diem si diem. Berisik bener, malu anjir." Gema menutup mulut Natha dengan telapak tangannya begitu saja. Jelas ia tak mau lama-kelamaan orang-orang sadar akan suara tawa Natha. Gema tak suka menjadi pusat perhatian.

Natha terkikik geli, sedetik kemudian menepuk pundak yang lebih dewasa di sana. "Gema, Gema, Gema, Gema! Makanya, maju! Jangan jalan di tempat. Oke? Tembak di lapangan, biar ala-ala drama gitu."

"Ogah, kena poin dari dementor bisa mati gue."

"Elah, siapa sih? Cuma presiden sekolah aja ditakutin. Enggak perlu takut gitu, gue yang lawan nanti. Ya?"

Pemuda di hadapannya menarik napas dalam, lantas mengembuskannya begitu saja. "Oke. Makasih, Natha.

***

"Raka, Aldi. Minus lima puluh bawa rokok ke sekolah!"

Seorang laki-laki dengan postur tubuh tinggi dan bahu lebar memergoki dua orang kawanannya di belakang kantin sekolah. Tengah asik menikmati waktu luang sembari menghisap beberapa linting nikotin di tangan masing-masing. Dengan langkah sangat yakin, Jere menghampiri tersangka pelanggaran peraturan. Tentu saja, karena dasi merah yang melingkar di lehernya, ia mampu berbuat sebegini berani saat di sekolah. Belum lagi lencana presiden siswa di jas sekolahnya. Membuatnya tampak begitu berwibawa di mata banyak orang.

"Alah apaan, sih. Sohib sendiri digituin. Konyol, lo!" Raka melemparkan puntung rokok yang masih menyala ke arah Jere. Membuat pemuda itu sontak menjauh karena menghindari bara di ujungnya.

"Balik ke kelas, cepetan."

"Berisik lo, Jer. Sampe entar ekskul nyariin rokok, gak bakal gue kasih," ucap Aldi saat menoleh ke arahnya. Lalu dengan santainya kembali menyalakan lintingan baru dalam genggaman tangannya.

Jere mengembuskan napas kasar. "Ya udah, lah. Bodo amat, yang penting nama lo berdua udah gue catet."

Belum sempat beranjak, Raka kembali berseru memanggil si presiden sekolah tadi. "Entar tanding ya!"

"Lawan mana?"

"IPS, turun gak nih?"

Sebuah senyum manis tersungging dari belah bibir pemuda itu. "Pasti, lah. Cabut dulu, yak!"

Tak lama setelah kepergian Jere dari sana, kedua kawanannya habis menggerutui sikap Jere yang berubah seratus delapan puluh derajat. Jelas saja, Jere yang dulu sudah hilang. Anak nakal yang seringkali pergi ke luar kelas saat jam pelajaran berlangsung, lalu tidak kembali lagi hingga bel istirahat berbunyi. Si bandel yang tak pernah absen untuk ikut touring bersama perkumpulan murid laki-laki terbesar di sekolahnya. Entah itu dalam kota atau luar kota. Anak muda yang penuh dengan ambisi karena memiliki darah seni dalam dirinya. Juga, ia dengan motivasi menikmati masa sekolah menengah atas sebagai masa-masa emas di mana kenakalan remaja makin menjadi.

Kemanakah Jere yang dulu?

"Boy, kayaknya mesti nyari tempat baru. Bener-bener taat tu bocah sama sekolahan." Aldi menyenggol pundak Raka, kemudian berdiri sambil menepuk bagian belakang celananya.

Raka mengangguk, lantas berkata, "Mending cariin tu anak pawang, dah. Dari pada kayak gini terus, macem orang gak ada kerjaan."

***

Siang itu, matahari bersinar terlalu terik. Natha terpaksa menelan salivanya berkali-kali demi membasahi tenggorokannya.

"Nath!"

Dari kejauhan, tampak seorang pemuda berlari terengah-engah ke arahnya. Peluh membasahi pelipis dan lengan pemuda itu. Dengan jersey hitam merah kebanggaan tim basket sekolah, Gema mendatangi sosok Natha dengan wajah sumringah.

"Kelamaan."

"Ya maaf. Gue nyari anaknya, kok gak ada, ya? Dia sekelas sama lo bukannya?"

Natha kembali mengedar pandang ke tiap-tiap sudut lapangan. Mencari sesosok gadis dengan rambut sebahu dan jas OSIS yang selalu dipakainya. "Lah, iya. Tadi masuk padahal dia."

"Apa udah balik?"

"Mungkin? Tenang aja, nanti kalo tanding final, gue yakin dia dateng. Dia kan sekretaris OSIS, harusnya bantuin ngurusin acara ginian, si."

"Ya tapi kan ini bukan acara sekolah yang gede gitu."

"Masuknya tetep aja pertandingan olahraga."

Gema mengangguk. Tak lama, ia teringat akan dua botol minuman dingin di dalam tas bajunya. Mengeluarkan salah satu botol minuman isotonic dari dalamnya, kemudian menyerahkan minuman tadi kepada Natha. "Buat gue?"

"Tadinya buat si Diana, sih. Tapi sayang, dari pada gue buang," ujarnya sembari tersenyum tipis. Gema memperhatikan Natha yang tampak lelah setelah seharian mengemban tugas sekolah. Belum lagi harus mendengarkan kisah percintaan miliknya yang tak jelas mau dibawa ke mana.

Natha tersenyum kecut, sedikit tak mau menerima pemberian Gema. Tentu saja, itu bukan untuknya. Kalau bukan karena haus dan tergiur bulir-bulir dingin dari balik botol plastik minuman isotonic itu, Natha tak akan mau menerimanya. "Thanks."

"Anytime."

Dari kejauhan, seorang pemuda dengan sorot mata kelewat tajam memperhatikan gerak-gerik Natha. Obsidiannya menampakkan kehampaan, namun juga kehilangan. Sedikit sendu tersirat dalam tiap tatapnya ketika melihat kedekatan Natha dengan Gema siang itu.

Siapa sangka saat sang raja siang tengah bersinar bahagia, ada seonggok hati bisu dengan awan kelabu yang bersiap untuk menurunkan hujan di dalamnya?

***

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang