Satu yang tak akan pernah berakhir
- LAKUNA -
"Lo beneran suka sama gue?"
"Hah?"
Natha berhenti dari kegiatan menulisnya. Ditatapnya seorang pemuda dengan cengiran konyol yang begitu khas.
"Maksud lo?"
Pemuda itu berusaha menyamankan posisi berbaringnya, lantas sedikit memiringkan kepala ke arah barat demi melihat gadisnya—yang bahkan belum resmi menjadi miliknya.
"Suka sama gue? Tempo hari lo bilang gitu."
"Kapan gue bilang gitu?"
"Jendela, waktu gue belom bangun. Udah sih sebenernya, cuma masih sakit."
Natha tampak mengingat-ingat. Apa benar?
Kemudian ingatannya terlempar pada kejadian tiga minggu yang lalu. Di mana jendela kaca dan gedung-gedung pencakar langit hanya menjadi satu-satunya saksi bisu penyesalan serta kesedihannya malam itu.
Bagaimana tidak, rasanya, selangkah lagi Natha akan kehilangan sosok Jere sebelum kisah mereka sempat terselesaikan.
"Y—ya, sebagai temen, emang nggak boleh, hah?"
"Wets udah udah, nanya doang gue. Santai."
Gadis itu berdecak sebal, lalu kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya.
"Lo kenapa mau nungguin gue?"
"Mau di gangguin setan?"
"Tante Rina kan ada."
"Tante Rina kerja, nggak selalu bisa di sini."
"Gema kan ada."
"Gema gantiin lo megang ekskul basket."
"Lo harusnya sekolah, kan? Ujian banyak."
"Gue belajar di sini."
"Lo khawatir?"
Natha terdiam.
Benar juga, alasan satu-satunya ia berada di sini adalah karena Natha benar-benar khawatir akan keadaan Jere.
Gadis itu mengangguk. Sementara Jere hanya bisa terkekeh kecil.
"Lo kapan masuk sekolah?" Natha bertanya pelan.
"Masih lama, nanti gue nyontek catetan, ya?"
"Cari sendiri."
"Lah jahat bener sama temen."
"Gue udah nungguin lo dua puluh empat per tujuh, lo kata jahat?" Meskipun sebenarnya tidak sampai dua puluh empat per tujuh juga, sih.
Jere kembali menampakkan senyum jenakanya, kemudian tampak wajah memelas yang muncul demi merayu si gadis. "Ya? Sakit nih aduh kakinya, gimana mau jalan nyari catetan. Belom lagi, otaknya nggak bisa mikir. Terus—"
"Iya gue kasih, berisik lo ah."
"Hehe makasih, Natha!"
Natha hanya mengangguk. Semilir angin AC kembali menambah sunyi suasana sekitar. Lagi-lagi mereka harus tinggal berdua karena Tante Rina masih kerja dan Gema masih harus mengurus ekstrakurikuler basket menggantikan Jere.
"Nath ...."
"Iya?"
"Gini aja gue udah cukup seneng. Jangan ngejauh lagi, ya?"
Gadis itu tersenyum, lantas mengangguk. "Iya."
"Bantuin gue bikin kakak balik kayak semula, nanti, kalo masalah lo udah beres."
"Iyaaaaa Jere!"
"Makasih ya. Gue bersyukur gue masih jadi temen lo, gue bersyukur bisa habisin banyak waktu bareng lo. Hari ini gue tau, mungkin yang dekat emang nggak selalu terikat. Gue seneng, bisa bebas jatuh cinta sama lo tanpa perlu takut lagi buat nyembunyiin itu."
Manusia mungkin pernah berpikir, jika mereka lahir sendiri, maka mereka akan mati sendiri. Karena manusia tak akan pernah bisa memilih. Maka dari itu, manusia harus belajar hidup sendiri tanpa menggantungkan harapan-harapan mereka terhadap orang lain. Begitu juga Natha dan Jere, berpisah karena merasa bisa hidup sendirian. Meski nyatanya, sendiri mereka ternyata menyiksa.
Namun sekarang manusia harus tahu, selama para manusia masih hidup dan bernapas, mereka masih bisa memilih. Bisa memilih akan jadi apa mereka kedepannya, bersama siapa mereka menghabiskan sisa hidupnya, dan dengan siapa mereka akan jatuh cinta.
Seperti Jere dan Natha, memilih untuk tidak terikat, namun menjadi satu kisah yang tak akan pernah memiliki akhir. Karena mereka, tidak akan pernah lagi berakhir.
END
Yuhuu! Akhirnya selesai juga, maaf ya endingnya gini, hehe.
Nanti, kuusahain bikin sequel kalo senggang^^
Terima kasih yang udah mau ikutin Lakuna selama ini, love ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKUNA
Подростковая литератураLakuna (n.) Ruang kosong, bagian yang hilang Aletta Nathasya. Seorang gadis muda dengan tag nama 'dewi cinta' di sekolahnya, baru menginjak enam belas tahun, namun hidup dalam hingar bingar dunia. Dunia terlarang. Arjuna Jeremy. Sebut dia dewa rupaw...