Aku merindukannya? Tentu saja.
-LAKUNA-
Sang raja siang bersinar dengan sangat bersemangat. Membuat aktivitas sekolah saat itu sempat terhambat karena beberapa murid kelas dua belas yang tengah menjalani mata pelajaran olahraga merasa tak nyaman. Jelas saja, terik matahari yang menyorot tubuh masing-masing mereka mampu membuat kulit terbakar dalam sekejap. Menyebabkan mayoritas anak gadis di sana terdengar mengeluhkan hal tersebut karena takut penampilan mereka berubah menjadi buruk rupa.
Begitu pula dengan Natha. Ia juga perempuan, maka ia tak mau munafik dengan menampik fakta bahwa dirinya mendadak malas ikut pelajaran olahraga hanya karena terik matahari yang menyengat. Maka, satu-satunya jalan keluar dari masalah ini hanya meminta izin untuk ke toilet, walau sebenarnya langkah kaki si gadis justru berakhir di perpustakaan. Inginnya hanya menikmati aroma buku yang menguar ke udara juga semilir angin AC di sana. Selain itu, ia juga berniat menyelesaikan novel remaja yang sempat dibacanya tempo hari di perpustakaan nanti.
"Natha, mau kemana? Lo belom ambil nilai!"
Seorang gadis dengan perawakan tinggi menyerukan namanya dari kejauhan. Membuat Natha menoleh dan melemparkan senyum simpul. "Gue susulan aja minggu depan!" serunya sebelum akhirnya, sosok Natha menghilang di balik lorong sekolah.
Sampai perpustakaan, gadis itu segera saja mendudukan diri di meja pojok. Tempat paling nyaman untuk berlayar menuju mimpi atau sekadar membaca buku dan berimajinasi. Menurutnya, bagian pojok perpustakaan itu ialah bagian paling aman untuk menikmati waktu sendirian. Tentu saja, tak ada yang akan mengganggunya karena tak mungkin ada manusia lain yang sadar akan entitas orang lain di meja pojok perpustakaan. Terlalu terasingkan, tersembunyi di balik rak-rak buku yang menjulang tinggi.
Kecuali, jika orang lain itu memang berniat untuk menghabiskan waktu di sana.
Natha segera saja mengambil salah novel remaja yang sebelumnya sengaja ia taruh di bagian paling atas rak buku. Lantas, setelahnya gadis itu menjatuhkan tubuh di dekat meja, lalu menyandarkan kepala ke atas meja di hadapannya.
Meskipun sebetulnya, Natha tak benar-benar terlarut dalam cerita di buku itu. Pikirannya mengawang ke angkasa. Sesekali embusan napas kasar terdengar keluar dari dalam mulutnya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya saat ini.
Pemikiran tentang bagaimana bisa hanya karena masalah kecil beberapa waktu lalu, dapat membuatnya kehilangan sosok rumah untuk berpulang? Pun juga kehilangan pelabuhan terakhir untuk bersandar dan berbagi cerita di saat seluruh dunia justru tak menganggap kehadirannya.
Natha tidak terlihat lelah, juga tidak ada gurat sedih yang terulas di raut wajahnya. Hanya diam dan tersenyum tipis bahkan saat ingatan itu kembali membuyarkan pikirannya. Seperti orang bisu. Mungkin, sebagian orang akan menyangka jika Natha terlalu mendalami kisah yang dibacanya. Karena tanpa sadar setitik bulir hangat mengaliri pipi putih gadis itu, meskipun sesekali tangannya masih saja refleks mengusap buliran air yang jatuh secepat mungkin.
Tapi ternyata tidak, bukan karena buku bacaan di genggamannya alasan Natha kini menangis. Jelas bukan.
Meja pojok perpustakaan, tempatnya dan sang presiden siswa dua tahun lalu melarikan diri dari pelajaran olahraga. Seperti saat ini.
Tempat keduanya berbagi kisah harian yang telah dilalui. Juga tempat di mana Natha dan Jere menghabiskan waktu hanya untuk sekadar mengeluhkan perasaan satu sama lain. Berbagi kepercayaan yang sama besarnya, dengan salah satu sesekali terkikik geli menyadari kesalahan pasangannya terhadap segelintir orang.
Terlebih saat itu, Jere masih terkenal dengan sikap yang kelewat nakal. Khas anak muda kelas awal.
Memikirkannya saja sudah mampu membuat lakuna dalam hati Natha kembali bergetar. Rasanya hampa, duduk di pojok perpustakaan sendirian. Tanpa bisa lagi mendengar celoteh berisik dari dalam muut Jere. Pun juga tak mampu mendengar lawakannya yang terkadang terlalu kuno hingga Natha tak lagi dapat tertawa.
Tiap tarikan napasnya lama-kelamaan semakin berat. Hatinya berdenyut sakit. Maka dari itu, Natha segera menutup buku bacaannya. Memutuskan untuk memejamkan mata dan menarik kembali pikirannya yang sudah terbang entah kemana. Melupakan ingatan yang barusan terlintas di dalam nalarnya. Natha bisa, dan ia yakin itu.
Meski ia tahu, tak pernah ada kata selesai dalam masalah mereka. Setidaknya, Natha berusaha untuk mengurangi intensitas kesedihan dalam dirinya tiap mengingat sosok pemuda yang sudah hadir mengisi har-harinya selama dua tahun belakangan.
Tanpa ia sadari, dari jarak dekat, pemuda yang dimaksud baru saja melangkah menuju meja pojok perpustakaan. Tepat saat Natha menyandarkan kepala membelakangi pintu masuk.
Ada hati lain yang menghangat saat itu juga. Mengetahui bahwa ternyata ia tak merindu sendirian.
***
Sengaja pendek sebenernya ini, hehe:(
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKUNA
Teen FictionLakuna (n.) Ruang kosong, bagian yang hilang Aletta Nathasya. Seorang gadis muda dengan tag nama 'dewi cinta' di sekolahnya, baru menginjak enam belas tahun, namun hidup dalam hingar bingar dunia. Dunia terlarang. Arjuna Jeremy. Sebut dia dewa rupaw...