For the First Time

147 12 1
                                        

Tap. Tap. Tap.

Dia coba untuk mendribble bola itu berkali-kali. Mengambilnya; lalu melakukan shooting.

Dugh.

Gagal. Sekali lagi, pasti bisa.

Tap. Tap. Tap. Dugh.

Masih gagal.

Terus diulangi berkali-kali. Tapi tetap saja, dia gagal.

Ya Tuhan, kenapa aku tidak bisa? Aku telah berusaha. Tapi masih saja aku gagal, batin gadis itu.

Dengan semangat yang tersisa, dia kembali mencoba. Namun nihil, bola itu memantul di ring dan mengenai kepalanya.

Sial, umpat gadis berumur 14 tahun itu.

Dia meringis sambil mengusap kepalanya yang terasa sakit. Untung pertahanannya tidak roboh ketika bola itu mengenai kepalanya. Jika terjadi, tidak habis pikir siapa yang akan menolongnya di lapangan sepi ini.

Tak lama setelahnya, terdengar suara tawa dari sudut lapangan. Sepertinya ada yang menonton ‘pertunjukannya’ secara illegal daritadi.

Dengan wajah kesal menyerupai benang kusut, dia melirik ke arah orang yang tadi menertawakannya. Wajahnya semakin kesal ketika mengetahui seorang lelaki berbaju jersey-lah yang menertawakannya. Lelaki itu berjalan mendekat dengan bola basket di lekukan lengannya. Sepertinya dia juga hendak latihan.

“Kau payah,” celetuk lelaki itu tanpa aba-aba. Membuat panas di kepala Erika, semakin meluap-luap dan siap untuk meledak.

“MEMANGNYA KENAPA KALAU AKU PAYAH?! HAH?!” semprotnya menggebu-gebu. Erika benar-benar meledak.

Lelaki yang mengejeknya tadi sontak terkejut karena teriakan Erika yang tiba-tiba. Tanpa memerdulikannya, Erika terus mendribble bola dan memasukkannya ke ring.

Tap.

Gagal untuk yang kesekian kalinya. Lelaki yang-entah-siapa itu menahan tawanya kala melihat wajah Erika yang benar-benar kusut. Dia benar-benar kesal karena kegagalannya.

“Hiks …,”

Tanpa diduga, Erika menangis sesenggukan layaknya bayi yang baru lahir. Membuat lelaki tadi gelagapan untuk menenangkannya.

“He-hey, ja-jangan menangis. Hush, hush!” ucap sang lelaki berusaha menenangkan Erika.

“Diam kau!” bentak Erika di sela tangisnya. Dia kembali menangis sejadi-jadinya.

Lelaki itu menghela napasnya, meringis karena resah akan tatapan orang yang kebetulan lewat. Bisa gawat jika orang-orang mengira dia menangis karenanya.

“Tenanglah! Kenapa menangis tiba-tiba gitu, sih?!” erangnya frustasi. Baru kali ini dia menemukan gadis yang menangis sesenggukan di depannya.

“Ka-kau di-diam saja! Ti-tidak usah mem-perdulikanku! Pergi sana!” ucapnya di sela tangis.

Njir, diusir, batinnya jengkel.

“Kenalin, aku Geo. Dan kalau kamu mau, aku bisa ngajarin kamu basket.” kata Geo seraya mengulurkan tangannya.

Erika yang mulanya menangis langsung terdiam; wajahnya langsung berubah cerah. Geo yang melihat perubahan air muka Erika secara drastis, langsung bergidik ngeri.

Dengan semangat Erika menjabat tangan Geo. “Aku Erika. Beneran kamu mau ngajarin aku basket?” tanyanya dengan mata yang berbinar-binar.

Geo mengangguk lemah. Toh apa yang sudah dia katakan tidak dapat ditarik lagi.

Erika langsung bersorak kegirangan. Bahagia bercampur terharu yang sekarang dia rasakan. Tak disangka akan ada orang yang mengajarinya. Oh, senangnya ….

“Jadi, kapan kita latihan?” tanya Erika antusias.

“Sekarang,” jawab Geo seadanya.

Gila. Aku capek banget. Masa iya diajak latihan?, desis Erika dalam hati.

“Woy! Jadi, nggak?” tanya Geo. Erika mengangguk pelan. “Pake bola aku aja.” ucap Geo seraya mendribblebolanya.

Erika menaruh bola basket miliknya di pinggir lapangan. Setelahnya, dia berlari pelan menghampiri Geo.

“Siap?” tanya Geo mengambil ancang-ancang. Erika melakukan hal yang sama; dia mengangguk. “Rebut bola ini sebisa kamu. Tapi ingat, jangan dirampas.” Geo memberi aba-aba.

Sesuai perintahnya, Erika berusaha merebut bola di tangan Geo dengan susah payah. Namun lelaki itu bergerak sangat cepat, Erika saja sampai kagum dibuatnya. Berselang setengah jam, bola itu belum juga berhasil Erika rebut. Gerakannya pun semakin melambat karena letih.

“Geo. Aku capek. Berenti dulu, yuk,” ucap Erika. Tanpa disuruh-suruh dia sudah duduk di pinggir lapangan.

Geo mengikuti langkah Erika kemudian duduk di pinggir lapangan, tepat di samping Erika.

“Kau payah,” ucap Geo tiba-tiba.

Erika mendengus. “Aku tau. Kamu nggak perlu mengatakannya dua kali.”

Geo terkekeh. “Kamu aneh,”

“Tidak perlu kau ucapkan,” balas Erika tak mau kalah.

Lagi-lagi Geo menimpali, “Kau gila.”

“Dan kau menyebalkan.” kata Erika geram.

Tawa renyah kembali terdengar dari mulut Geo. Memecah ketegangan karena adu mulut mereka tadi. Sedangkan Erika yang merasa ditertawakan bersungut sebal.

Dia baru saja mengenal Geo, bahkan baru kali ini mereka bertemu. Tapi Geo sudah mengata-ngatai Erika di depan wajahnya sendiri.

Geo sadar akan kekesalan Erika. Dia berusaha meredam tawanya dengan deheman.

“Ehem. Jadi, kamu suka basket sejak kapan?”

Erika menatap Geo tepat di manik mata. Dia menunduk dan mengangkat bahu tak acuh. “Gak tau. Dari kecil, mungkin?”

“Oh,”

“Kamu sendiri?”

“Sejak … sepupu aku meninggal,”

Erika dapat mendengar nada sedih di kalimat Geo barusan. Erika ingin bertanya alasannya, tapi dia takut membuat Geo tersinggung. Jadi sebaiknya dia diam saja.

“Aku turut berduka,” ucap Erika.

Geo mengangguk. “Gak masalah, kok. Lagipula itu udah lama. Waktu kelas 5 SD.”

Erika manggut-manggut. Tidak ada percakapan berarti setelahnya. Hanya tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Sampai matahari hampir terbenam, Geo beranjak dari duduknya.

“Aku duluan ya. Kalau mau, kita bisa latihan lagi nanti.”

Erika langsung berbinar bahagia setelah mendengar tawaran Geo. “Boleh! Kapan?”

“Besok bisa, gak? Sekitar jam kita latihan tadi.” kata Geo akhirnya setelah berpikir sejenak.

“Hm,” Erika nampak menimang-nimang. “Oke. Aku bakal datang tepat waktu.” ucapnya dengan senyuman lebar.

Melihat Erika tersenyum seperti itu membuat Geo ikut tersenyum. “Ingat, aku pegang kata-kata kamu. Kalo telat, latihan batal.” ujar Geo tegas.

Erika mengangguk. Besok pasti akan menjadi hari yang panjang.

“Oh, iya!” seru Erika tiba-tiba. “Aku lupa nanya, kamu sekolah di mana? Rumah kamu juga yang mana? Kok aku jarang liat kamu, ya?”

“Aku baru pindah dekat-dekat sini. Besok juga aku udah mulai masuk. Kamu tau SMP Nusa?”

Mata Erika membulat kala ia mendengar nama sekolahnya disebut oleh Geo. “Itu SMP aku! Kamu pindah ke sana?” tanya Erika lagi memastikan.

Geo mengangguk mantap, yang hanya dibalas cengiran oleh Erika. Sepertinya semua akan berjalan lancar.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang