Mataku nanar menatap foto yang ada di tangan Mas Indra suamiku."Jadi dia yang akan menjadi pengantinmu, Mas?" tanyaku saat Mas Indra menunjukkan foto seorang wanita.
Pria yang telah menikahiku lima tahun itu hanya mengangguk tanpa menatap. Ruang keluarga yang biasanya sejuk dengan AC terasa panas. Berkali-kali kuusap keringat yang mendadak membanjiri kening.
Lima tahun bukan penantian yang pendek bagi mertuaku. Sejak awal menikah mereka menginginkan aku segera hamil. Tapi apa daya, meski semua doa dan usaha kami kerahkan, Tuhan belum menjawab.
Mami Widya, mertuaku perlahan mulai memengaruhi Mas Indra. Setiap waktu beliau selalu menyuruh suamiku untuk segera menikah lagi.
"Mau sampai kapan mami menunggu istrimu hamil? Semua teman kamu yang telah menikah, mereka sudah punya anak! Sedang kamu?" cecar mami suatu ketika yang tanpa sengaja kudengar.
"Mami, buat apa Indra menikah lagi, bagi Indra cukup Sita saja yang menemani hingga nanti, ada atau tanpa anak," tolak suamiku.
Mendengar penolakan itu, mami tak berhenti merayu. Hingga muncul ancaman akan jadi anak durhaka jika tidak mengikuti keinginan beliau.
***
"Maafkan aku, yang tidak bisa menolak permintaan mami."
Aku mengangguk mencoba tersenyum. Pelan Mas Indra merangkum jemariku di tangannya. Mata teduh yang selalu kusuka itu menatap lembut.
"Kumohon, jangan tinggalkan aku. Jangan memintaku untuk melepasmu," pintanya pelan.
"Kapan kalian akan menikah?" suaraku terdengar parau. Mata mulai terasa memanas.
"Bulan depan."
Hatiku terasa remuk seketika mendengar jawaban dari Mas Indra. Tuhan, mengapa aku harus menghadapi ini semua? Tak bisakah kau tukar aku dengan ujian yang bahagia saja?
"Bulan depan? Itu bulan kelahiranku, Mas."
"Aku tahu, tapi mami sudah merencanakan semuanya, Dek."
Aku merasa Mas Indra semakin mengeratkan genggamannya. Otakku tak lagi bisa berpikir, perasaanku seolah diacak-acak kasar kemudian dilempar begitu saja ke jurang.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menerima apapun keputusan mami mertua. Menyadari sepenuhnya bahwa aku bukan wanita yang bisa diandalkan untuk memberikan keturunan bagi keluarga Mas Indra.
Lagi-lagi kurasakan tangan suamiku menguatkan genggamannya. Tak sanggup menahan lesakan air dari mataku. Ia jatuh luruh begitu saja membasahi pipi.
"Tinggalkan aku, Mas!" ucapku dengan suara bergetar.
Mas Indra menggeleng cepat.
"Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi istriku," tukasnya cepat.
Kutarik kuat pegangannya, Mas Indra terkejut dengan reaksiku.
"Sita, tolong jangan pernah berpikir untuk berpisah denganku," mohonnya dengan tatapan sendu.
Aku beringsut dari duduk, melangkah menuju jendela.
"Sita, tatap aku. Adakah kamu dapati rasa cinta ini berkurang?" Lembut Mas Indra memutar tubuhku menghadapnya.
Lima tahun kami bersama, hampir tak pernah ada pertengkaran yang berarti. Meski tanpa kehadiran buah hati di tengah-tengah kami, tak pernah sekalipun hal itu menjadi sesuatu yang harus dibahas.
Pelan ia mengangkat dagu lalu mengecup bibirku lembut. Mendadak seluruh persendianku lemas tak berdaya, sehingga aku hampir terjatuh. Sigap Mas Indra menahan tubuhku dengan tangan kokohnya, kemudian membawa ke ranjang kami.
"Kamu tetaplah berbaring, aku buatkan teh hangat ya."
Tanpa menunggu jawaban dariku ia bergegas ke dapur. Tak lama ia datang dengan nampan berisi secangkir teh hangat.
"Minumlah," perintahnya membantuku duduk.
Kembali aku rebahkan tubuh. Dada masih terasa sesak dan mata kembali menghangat.
"Mas, aku ikhlas. Aku ikhlas demi kebahagiaan mami." Aku mencoba menatapnya meski jujur tak sanggup.
Wajah itu yang lima tahun belakangan ini selalu kupandang saat sebelum tidur, wajah itu yang selalu kukecup saat hendak membangunkannya. Entah seperti apa nanti jika harus berpisah dengannya.
Mas Indra mengusap keningku lembut. Masih dengan senyum yang sama ia menggeleng.
"Tidak, Sita! Kamu tetap di sini, menjadi istriku. Selamanya."
Ia meletakkan jari ke bibir saat aku hendak membalas ucapan itu.
***
Aku dan Mas Indra memang tinggal bersama mami dan papi. Sebab suamiku adalah satu-satunya anak mereka. Aku memahami keresahan kedua mertuaku.
Mereka sangat menginginkan cucu supaya rumah besar itu terasa ramai. Tidak ada yang salah dengan keinginan itu. Jika sekarang saatnya aku mengalah, aku siap.
Bulan depan tinggal beberapa minggu lagi. Sementara perlakuan Mas Indra sama sekali tak berubah. Ia masih tetap memanjakanku. Tapi tidak demikian dengan sikap mami. Beliau seringkali berkata seolah aku lebih baik keluar dari rumah itu.
"Mas, aku boleh meminta sesuatu?" tanyaku saat Mas Indra baru saja meminta haknya.
"Katakan, apa yang kamu inginkan? Eum, jangan bilang kamu mau lagi, sebab aku baru saja hendak meminta hal yang sama," godanya mengusap pipiku.
"Ish, genit!" kubenamkan wajah menyembunyikan ke dadanya.
Menyembunyikan air mata yang hendak tumpah. Mengingat keintiman kami berdua, dan membayangkan kelak ia akan bersama wanita lain dalam satu ranjang membuat hatiku terasa di sayat.
Mendengar debar jantungnya yang biasa akrab di telingaku, kubayangkan beberapa minggu lagi akan ada perempuan lain yang juga akan mendengarnya. Semua itu membuatku sakit.
"Aku tak ingin ada di rumah ini lagi, Mas," ujarku datar seraya mengurai dekapannya. Ada denyut nyeri di dada saat mengucap kalimat itu. Tapi bukankah akan lebih menyakitkan jika tetap berada di rumah ini? Menyaksikan suami yang aku cintai bersanding dengan wanita lain?
"Kamu mau pergi kemana, Sayang?" Ia memainkan rambutku kemudian menyelipkan ke belakang telinga.
"Tidak, Sita. Tempatmu di sisiku, kamu tidak akan kemana-mana." Kembali Mas Indra merengkuhku.
"Mas, aku ..., aku mau kost aja!"
Kali ini Mas Indra menatapku dengan mata yang menyipit.
"Kamu mau kos? Nggak! Aku tidak mengijinkan, tidak Sita," tegasnya.
Pelan bangkit dari pembaringan, kutarik selimut menutupi tubuh yang masih polos.
"Mas, aku nggak siap jika harus melihatmu berdua dengan perempuan lain. Aku nggak siap membayangkan kamu tidur bersama perempuan lain, aku punya perasaan, Mas. Tolong, biarkan aku pergi dari sini," ucapku memohon.
Lelaki itu menghela napas, kulihat ia mengusap wajah. Jelas terlihat tak nyaman dengan keadaan ini.
"Sita, aku tak tahu apa bisa hidup tanpamu, sampai saat ini pun aku tak pernah menginginkan pernikahan itu." Mas Indra berkata dengan wajah gundah.
"Aku tahu, Mas. Tapi kamu akan di cap sebagai anak durhaka jika tak menuruti keinginan mami, dan aku tak ingin itu, Mas," balasku. Mas Indra memeluk erat seolah tak ingin melepaskan.
"Maafkan aku, Sita. Aku bukan lelaki yang bisa membuatmu bahagia, jangan pergi," bisiknya seraya menciumiku.
"Mas, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tetap ada di sini," ujarku menepuk pelan dadanya.
"Tapi ijinkan aku untuk keluar dari rumah ini," sambungku lirih.
Tak ada jawaban dari Mas Indra. Ia hanya mengacak rambutnya kasar.
*** test dulu, nunggu vote dan komentar yang banyak, baru lanjut 😁. Oh iya, buat pecinta Kenzie, tunggu, aku lagi siapkan si tengil itu, jd sabar ya***
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Cinta (end) Lengkapnya bisa baca di Ebook.
General FictionLima tahun menikah, dengan sabar menanti hadirnya buah hati, tapi yang diharapkan belum kunjung tiba. Setelah melalui pemikiran panjang, akhirnya ia menyerah pada kenyataan, bahwa sang suami segera menikah lagi dengan perempuan pilihan orang tuanya...