Empat

13.3K 1.6K 124
                                    

Eitss, bisa klik bintang sebelum baca?
Terima kasih untuk partisipasinya 😍😘, happy reading all

"Eeh, tunggu! Maksud gue, gue rasa elo hamil, Sita!" serunya.

Aku kembali berhenti dan menatapnya.

"Ck! Udah, nggak perlu menghiburku, Maya. Ayo pulang!"

Maya tak lagi membantah, ia bergegas mengikutiku.

***

Ucapan Mbok Minah benar-benar membuatku resah. Ada rasa sakit yang semakin menyayat. Benarkah Mas Indra setega itu? Jika memang benar lelaki itu dan keluarga telah pelan-pelan menghapusku, mengapa ia tak menggugatku? Pertanyaan itu terus bermain-main di kepala.

Hari menjelang malam, saat gawaiku bergetar. Hati berdesir saat membaca identitas pemanggil. Mas Indra, ini adalah hari ke enam kepergiannya. Meski berkecamuk rasa, kucoba menerima teleponnya.

"Assalamualaikum, Mas."

"___"

"Mas di mana?"

"___"

"Lima belas menit lagi?"

"___"

"Oke."

Obrolan berakhir, Mas Indra sebentar lagi tiba. Kurapikan penampilan, tak lupa memakai parfum kesukaannya lalu menyiapkan secangkir white coffe. Tepat lima belas menit kemudian pagar diketuk. Bergegas aku membuka sambil menata hati.

Wajah letih jelas terlihat di raut Mas Indra. Kusambut dia dan mencium punggung tangannya. Ia merengkuh membalas dengan mengecup keningku.

Aroma tubuh lelahnya menguar di indra penciumanku. Entah mengapa dalam pelukannya kurasa pilu, bayangan senyum bahagia Sonya dan mertuaku tergambar jelas di pelupuk. Air mata jatuh tanpa permisi.

"Apa kabar, Sayang?" tanyanya setelah kami duduk di sofa tanpa melepas tangannya. Aku mengangguk tersenyum.

"Baik, Mas. Sonya apa kabar?" sindirku beranjak mengambil kopi di meja makan. Tak kudengar jawaban dari Mas Indra.

"Diminum, Mas."

Aku duduk membuat jarak dengannya.

"Kamu kenapa, Sita?"

"Kemarin liburan ke Lombok?" tanyaku tanpa menoleh. Sekilas kulihat dia mengusap wajah kemudian menyandarkan tubuh.

"Siapa yang bilang?"

Aku menggeleng.

"Mas, jika aku sudah tidak berarti apa-apa di mata keluargamu. Ceraikan aku!" tegasku dengan suara bergetar.

"Kamu bicara apa, Sita?" Mas Indra menyentuh bahu, tapi cepat aku menghindar.

Dengan seluruh kekuatan aku menceritakan apa yang telah kudengar. Tentang liburan ke Lombok dan tentang kehamilan Sonya. Tampak suamiku terkejut.

"Sita, dengar penjelasanku! Tolong," ucapnya pelan. Aku sudah tak bisa mengendalikan emosi, air mata tak lagi bisa kutahan jatuhnya. Kutinggalkan Mas Indra ke kamar, di sana kubenamkan wajah ke bantal dan terisak di sana.

Aku hanya merasa sendiri, sepi. Rasa tidak dianggap itu menyakitkan, terlebih oleh orang yang selama ini sangat kusayangi.

Lembut kurasakan sentuhan Mas Indra di kepalaku. Ia mengusap pelan seperti biasa saat aku ingin dimanja.

"Sita, dengarkan aku. Tolong jangan berpikir aku meninggalkanmu," suaranya terdengar lirih. Aku masih bergeming, hatiku hancur. Mungkin waktu itu aku dengan percaya diri mempersilakan Mas Indra menyetujui permintaan Mami. Namun, nyatanya aku merasakan sakit tak terperi di dasar hati.

Saujana Cinta (end) Lengkapnya bisa baca di Ebook.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang