5. Hurt

25.7K 2.1K 167
                                    

...Walaupun maut merenggut nyawaku, kupastikan hantuku akan terus mengikutimu...

Fara memukul-mukul kepalan tangannya ke pinggiran ranjang sambil terisak-isak. Tubuhnya gemetar. Ketakutan yang dulu menghantuinya kembali hadir. Fara merasa ada sengatan tak kasat mata yang menghunjam ke jantungnya dan membuat bulu romanya merinding.

Beberapa bulan semenjak Fara 'melarikan diri', susah payah ia melupakan bayang-bayang kejadian tragis yang menimpanya akibat perbuatan seseorang yang saat itu masih disebutnya sebagai suami. Ia menyiksa dirinya sendiri dengan belajar hingga kelelahan dengan harapan saat ia tertidur, mimpi buruk itu tidak lagi muncul. Setiap hari, ia sampai memegangi ujung baju Sam yang menemaninya hingga terlelap sementara lelaki itu sibuk dengan laptopnya.

Setelah perjuangan berat melahirkan sang buah hati yang ia yakini sebagai pelipur lara, kembali pertahanannya runtuh. Wajah Andra yang tercetak jelas pada wajah anaknya membuatnya mengingat kembali kenangan buruk itu tanpa diminta. Walaupun luka di tubuhnya telah menghilang, tetapi luka di batinnya masih meninggalkan bekas yang saat ini berdarah kembali. Setelah menemui Andra untuk terakhir kalinya waktu itu, ternyata dirinya masih belum berdamai dengan perasaannya sendiri.

Kenapa kau terus menghantuiku, Alandra? Aku sudah berlari sejauh ini tapi bayangan kekejianmu masih saja mengikuti.

Fara tidak bisa memungkiri, rasa cinta yang mati-matian ia hapus itu, masih ada disana bertahta dengan angkuhnya. Ia merindukan Andra yang dulu selalu menghapus airmatanya. Ia merindukan kebersamaan mereka. Seharusnya saat ini mereka tengah berbahagia, menggendong buah hati yang dinantikan sejak lama.

Dulu, walaupun ada sandungan disana sini, Fara bahagia bersama Andra. Dan kebahagiaan itu juga lah yang membuat pengkhianatan dan kekejian Andra menyayat luka yang amat dalam dihatinya.

Fara terus menitikkan airmata putus asa.

***

"Ara, do you have a name?" Tanya Sam sewaktu ia kembali setelah menitipkan bayi Fara di ruangan bayi.

Fara diam saja. Tubuhnya tengah berbaring miring dengan mata merah menatap ke satu titik di dinding.

"Hmm, mereka perlu data untuk pembuatan dokumen. Kamu keberatan kalau aku yang memberinya nama?"

Tidak ada jawaban.

Sam mengepalkan tangannya melihat mata redup itu kembali menghiasi wajah Fara. Kosong. Seperti pertama kali ia menemukan adiknya tersiksa. Psikiater yang dihadirkan oleh pihak rumah sakit tidak banyak membantu karena Fara menolak untuk merespon.

Ia kemudian keluar untuk menemui petugas administrasi dan mengurus dokumen kelahiran si bayi.

"Astaga, Sam. Ini sih mirip banget sama ayahnya, pantas Fara histeris!" Seru Ian setelah Sam mengirim foto bayi Fara lewat Whatsapp beberapa menit yang lalu.

"Gue harus gimana, dong?" Tanya Sam gelisah sambil mondar-mandir dengan suara lirih, takut menganggu kenyamanan beberapa keluarga pasien lain.

"Lo kasih support terus."

"Gue kasihan bayinya, belum minum susu."

"Fara nggak mau menyusui?"

"Lah, gimana mau menyusui, melihat anaknya saja nggak mau."

"Aduh! Lo bujuk kek atau apa. Biasanya kan dia selalu dengerin omongan lo."

"Kalau nggak mau juga?"

"Masih ada waktu. Bayi punya cadangan makanan sampai maksimal empat puluh delapan jam kedepan. Lagipula, kalau nggak ada ASI, bisa pakai susu formula."

Menggenggam Janji (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang