Pluviophile

3.1K 221 33
                                    

Lea berlari kecil sepanjang trotoar, embusan angin dingin membuat gamis dan kerudung lebar yang ia kenakan berkibar-kibar, sementara rinai yang menerpanya meninggalkan bekas basah di sana. Hampir-hampir ia mencela hujan, ketika sebuah guntur mengagetkan.

‘Barusan tadi matahari bersinar terik, kenapa sekarang hujan?’, pikirnya dalam hati. Sejurus kemudian ia beristigfar. Bukankah dalam agama Islam terdapat sebuah konsep, bahwa segala sesuatu yang sudah jelas diatur oleh Allah, tak perlulah dipikirkan. Semisal hujan. Lea mengguman pelan, “Allahumma shoyyiban nafi’an ….”

Hujan yang menderas memaksa Lea menepi, berteduh di depan sebuah bangunan. Tangannya yang pucat dan gemetar karena kedinginan mencari-cari gadget di dalam tasnya, dapat! Namun, lampu di layar gadget tiba-tiba mati hanya selang beberapa detik setelah dinyalakan. Gadgetnya kehabisan daya, Lea berdecak kecewa. Ia memasukkannya kembali ke dalam tas, harapannya memesan taksi online pun kandas.

Lea memperhatikan buliran air yang jatuh ke bumi, seperti hujaman ribuan jarum yang transparan dan panjang-panjang. Begitu rapat, ia nyaris tak dapat melihat jelas ke seberang jalan. Lea sebenarnya adalah pengagum hujan, ia bisa berjam-jam menikmati sensasi yang diberikan hujan pada panca indranya. Bahkan jika saja ia tidak malu dengan usianya yang tidak lagi muda, rasanya Lea ingin berlari dan menari-nari di dalam derasnya hujan.

Beberapa kali cahaya berkelebat cepat di langit, disusul gelegar guntur yang beruntun, kembali membuat Lea terkejut. Nyalinya mendadak ciut. Lea menyukai hujan yang deras, tapi damai, tanpa kilat dan guntur yang membuat keberaniannya luntur. Tubuh Lea mulai gemetar, antara kedinginan dan gentar.

“Harusnya aku tak turun dari mobil …,” desah Lea bernada sesal. Sebelum terjebak dalam hujan tadi, Lea berada di sebuah mobil bersama dua orang temannya. Dewi dan Agus, sepasang suami istri, mereka bertiga baru saja menghadiri sebuah undangan pernikahan. Pengharum mobil yang beraroma tajam membuat kepala Lea pusing tujuh keliling, ditambah cara mengemudi Agus yang seringkali mengerem mendadak membuat perut mual. Lea tak tahan, ia harus segera turun atau terpaksa mengotori mobil temannya itu dengan muntahan.

“Dew, aku berhenti di sini saja.” Lea menepuk bahu Dewi yang duduk di samping Agus.

“Sembarangan! Suamimu bisa ngomel habis-habisan kalau ketahuan menurunkanmu di jalan!” Dewi sontak menghardik berlebihan sambil menoleh ke belakang, tempat di mana Lea duduk. “Jangan macam-macam ….” Dewi menatap Lea tajam, curiga tepatnya. Ia seperti tahu Lea menyembunyikan sesuatu.

“Eh, bukan begitu …,” sangkal Lea, ia mengarahkan jari telunjuknya ke luar jendela, “ini kebetulan dekat dengan café teman sekolahku dulu yang baru saja buka. Aku mau mampir sebentar.” Lea sedikit gugup, isi perutnya mulai bergejolak naik ke atas, nyangkut di kerongkongan. Tahan … tahan ….

“Selingkuhan?” Dewi menyeringai dengan tatapan menyelidik.

“Demi Tuhan, bukaaan ….” Lea menghujani bahu Dewi dengan pukulan ringan.

Dewi tertawa, ia tahu, Lea tak akan berani melakukan hal itu. Namun, tetap saja ia menggodanya. “Sebutkan namanya?”

Lea terkejut, keningnya berkerut, ia tak menyangka Dewi akan menanyakan hal tersebut. Isi kepala Lea langsung dipenuhi banyak wajah, setengah mati ia mencoba mengingat-ingat. “Ryana!” Lea bersorak akhirnya menemukan sebuah nama yang menurutnya cukup mewakili. “Ryana teman sekolahku dulu, ia membuka sebuah café. Dan belum lama melangsungkan pernikahan, aku belum sempat mengucapkan selamat.”

M U S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang