“Tuan … Tuan!”
Nina, perempuan berusia hampir kepala tiga yang telah bekerja sebagai pramusaji sejak Café Pluviophile dibuka, setengah berlari menuju sudut ruangan yang berfungsi sebagai kantor Leo. Di ruangan berukuran dua kali tiga meter yang dibatasi oleh sekat-sekat terbuat dari batang bambu yang disusun secara rapi dan menghidupkan kesan natural nan memikat, Leo seperti ditarik keluar secara paksa dari dunia yang sedang dibacanya.
Leo mendengkus, menutup buku berjudul Wrath and the Dawn karya Renee Ahdieh dengan tidak lupa melipat kertas sebagai pembatas halaman akhir yang dia baca. Sebenarnya Leo tidak terlalu menyukai fiksi apalagi bergenre fantasi, tapi sejak Lea menerbitkan dua buku yang notabene adalah tentang dirinya, Leo mulai membaca novel sekadar mencari penghiburan.
“Sudah kubilang berkali-kali, jangan panggil Tuan,” sergah Leo, “panggil nama saja.”
“Tidak berani, Tuan.” Nina menggigit bibir bawahnya menahan tawa, “tidak sopan memanggil nama pada orang yang lebih tua.”
Nina dan Leo memang terikat secara profesional, tapi sikap Leo yang hangat dan mudah bersahabat dengan siapa pun membuat hubungan keduanya menjadi erat, layaknya teman dekat. Namun, tetap saling menjaga batasan, terlebih lagi Nina sudah bersuami.
“Aku tidak setua itu,” tukas Leo ikut tertawa. “Ada apa?”
“Penulis itu, Tuan … dia berdiri persis di depan Café ini.”
Sepasang mata Nina sekilas terlihat berkilat-kilat laksana cermin yang memantulkan cahaya. Nina tahu, bagi Leo ini adalah berita gembira. Perempuan yang berteduh itu adalah belahan jiwa yang memasung satu-satunya cinta yang milik lelaki di dekatnya. Lea adalah semesta bagi Leo.
“Lea?”
Leo serta-merta melompat dari duduk, hingga hampir membuat kursi putar beroda itu terjungkal. Leo limbung berdiri di atas kedua kaki palsu. Mematung di depan partisi, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Sebuah kekhasan, seolah setiap kali Leo melakukan hal tersebut, dia bisa menyembunyikan gelisah. Meredam dera cinta dan deru rindu yang membuncah. Satu menit, dua menit … lima menit! Leo bergeming.
“Tuan … dia bisa masuk angin karena kedinginan.” Nina mengingatkan.
“Dia akan masuk … sebentar lagi, lihat saja nanti.” Leo begitu percaya diri.
Tentu saja, tempat ini memang milik Leo, tapi jiwa dari setiap sudut ruangan Café adalah kepunyaan Lea. Cepat atau lambat, Leo yakin, tempat ini menjadi magnet yang akan menarik Lea untuk datang kembali. Sebuah tempat di masa lalu dengan nama dan suasana baru. Seperti halnya Leo, orang yang sama dengan kondisi tubuh yang tidak lagi utuh, tapi cintanya senantiasa tumbuh … sepanjang waktu.
“Sudah hampir lima belas menit, Tuan ….”
Leo menoleh, nyaris tidak menyadari bahwa Nina masih berdiri di dekatnya sepanjang Leo tenggelam dalam lamunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
M U S E
RomanceSebuah romantisme dengan tiga sudut pandang. Lea, Leo, dan Raka.