13: He's Terminally Ill

4K 180 6
                                    

"Jika hal ini tidak terjadi, mungkin saja..."

Kondisi Raflan kini berangsur membaik, tidak ada lagi alat-alat yang menurutnya mengganggu berada di tubuh Raflan. Kini, Raflan tengah merebahkan tubuhnya di ranjang ruang rawat sembari memandang ke arah jendela.

Pagi ini ia sendiri, Rara dan Fadli tidak menemaninya karena sekolah, mamanya yang mengambil cuti ia minta untuk menemani Mutia di rumah. Sedangkan papanya tengah ke kantin untuk sarapan, itu pun karena di minta oleh Raflan.

Raflan sadar, kejadian yang menimpanya itu papa nya lah yang menjadi salah satu penyebab. Namun Raflan bersyukur karena kejadian itu pula, papanya mulai berubah. Papanya kini sedikit demi sedikit berubah menjadi sang papa yang dulu ia ingat. Sudah hampir satu minggu beliau tidak ke kantor hanya demi menungguinya di rumah sakit.

Raflan juga bersyukur, berkat ucapan Rara dan Fadli tempo hari kepada mama dan papanya, akhirnya mereka mengurungkan niat untuk bercerai. Papa Raflan yang sesungguhnya masih mencitai sang mama berjanji bahwa beliau akan berubah. Sesaat setelah perbincangan pun, papa Raflan segera menghubungi pihak kantor untuk sementara menghandle semua pekerjaannya.

Awalnya mama Raflan merasa ragu untuk percaya, namun melihat raut wajah suaminya yang terlihat penuh penyesalan, membuat mama Raflan memberikan kesempatan. Mama Raflan juga mencoba untuk tidak egois, begitu papa Raflan berjanji untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk anak-anaknya, mama Raflan pun berpikir bahwa ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.

Raflan tersenyum lega mengingat hal itu. Tak lama, terdengar suara pintu terbuka. Dengan cepat Raflan beralih pandang ke arah pintu.

"Lho, kok cepet banget Pa sarapannya?" Raflan membuka suaranya begitu melihat sang papa yang memasuki ruang rawatnya.

"A cup of black coffee is enough.." Papa Raflan menjawab dengan mantap. Sang papa segera duduk di kursi samping ranjang anaknya.

Mendengar penekanan pada black coffee itu membuat Raflan mengingat kesukaan sang papa sejak ia masih kecil. Papa Raflan memang sangat menyukai kopi hitam tanpa gula, hal itu sudah ia tahu sejak Raflan masih sangat kecil. Setiap pagi, begitu mamanya selesai membuatkan kopi untuk sang papa, Raflan kecil dengan langkah mungilnya mengantarkan secangir kopi hitam tersebut kepada papanya.

Bahkan pernah suatu ketika, Raflan kecil tersandung saat mengantarkan kopi untuk papanya hingga kopi itu mengenai celana kerja papanya. Bukannya dimarahi, Raflan justru ditertawai oleh papanya yang melihat anaknya menciut merasa bersalah yang sangat gemas menurutnya.

Raflan tertawa kecil mengingatnya, disusul sang papa yang ikut tertawa.

"Sayang ya Pa, Alan gak suka kopi. Kalo Alan suka kopi, Alan pasti nemenin Papa ngopi tiap pagi." ucap Raflan sambil tertawa setelahnya.

"Haha.. Kau ini bisa saja. Kau tau nak, kau itu lebih mirip mama mu dibanding papa. Kau persis kali macam mama mu, sifatnya, kesukaannya, bahkan cara kau merajuk pun sama." Papa Raflan berucap panjang lebar. Aksen bataknya terdengar sedikit jelas dibeberapa kata yang terucap.

Raflan setuju dengan apa yang papanya ucapkan. Raflan sedikit menyayangkan hal tersebut, hingga tiba-tiba Raflan teringat dengan orang yang mempunyai sifat yang mirip dengan sang papa.

"Papa tau, Fadli itu hampir mirip seperti papa. Tiap kali Alan liat Fadli, Alan kaya liat sebagian besar sifat papa. Papa inget kan kalo Fadli juga suka banget sama kopi hitam?" ucapan Raflan dibalas dengan anggukan dari sang papa.

"Fadli itu juga suka denger tembang lawas kaya papa. Fadli juga humoris kaya papa dulu. Tapi juga tempramennya sulit dikontrol tiap kali emosi, sama seperti papa. Meski begitu Fadli tuh persis juga sama sifat papa yang paling Alan suka..." Raflan menggantungkan ucapannya.

Couple Ring [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang