"Neng Ais"

52 1 0
                                    

Aku lahir dari rahim ibuku. Dibesarkan di lingkungan pesantren dengan budaya tradisional yang sangat kental. Hingga aku terbiasa hidup dengan gaya hidup macam anak kiai. Orang-orang biasa menyebut istilah "neng". Istilah tersebut biasa digunakan untuk memanggil anak kiai. Karena aku hidup di lingkungan itu, maka orang-orang memanggilku dengan sebutan itu. Padahal sih aku sama sekali tidak pantas dipanggil neng.

Namaku Aisyah Kamilatil Mahabbah, Ais saja supaya lebih mudah. Biasanya mbak-mbak santri memanggilku Neng Ais atau Mbak Ais. Aku dekat dengan mereka, mereka juga dekat denganku. Aku sering mengajak salah seorang dari mereka untuk menemaniku di ndalem, dan tak jarang aku juga menghabiskan waktu di kamar-kamar mereka. Di komplek pondok aku menjelma menjadi santri, sama dengan mereka, kemudian ketika kembali di ndalem, aku ini adalah cucu dari bu nyai Lathifah, istri kedua dari Kiai Yasir, pengasuh generasi kedua pondok Al-Munawwaroh. Pondok keluargaku ini sudah berumur hampir seabad dan saat ini kepengasuhan sudah diganti empat kali, yang sekarang diamanahkan pada Pakdhe Mas'ud Yasir. Beliau adalah anak kedua dari Nyai Karimah, istri pertama dari Kiai Yasir. Sedang anak pertamanya yaitu Kiai Ali, sudah kapundhut sejak delapan tahun yang lalu. Jadi, Kiai Mas'ud menggantikan Kiai Ali untuk mengasuh pondok.

Kiai Yasir adalah anak dari Kiai Hasan yang merupakan pendiri pondok Al-Munawwaroh. Jadi bisa dibilang aku ini generasi keempat dari keluarga besar Al-Munawwaroh. Pondok ini memang sudah lumayan besar dan terkenal di Jawa Timur. Santinya sudah ribuan dan berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Cabangnya juga lengkap, mulai Raudhatul Athfal hingga sekolah tinggi disediakan. Pondok juga memiliki usaha koperasi, melayani bimbingan haji, dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Aku tidak lahir dan besar di Al-Munawwaroh. Awal masa Tsanawiyah barulah aku pindah ke sana, tinggal bersama Nyai Lathifah, mbah buk-ku. Pondok Al-Munawwaroh terletak di desa Ngloji, desa yang masih sangat tradisional dan jauh dari hiruk pikuk kota. Senada dengan prinsip ke-salaf-an  yang dipegang teguh oleh kakekku, Al-Munawwaroh pun berkembang dengan prinsip salaf. Peraturan dan metode pangajarannya masih tradisional, misalnya dengan metode sorogan atau bandongan. Lain dari keluarga Ngloji (aku menyebut keluargaku yang tinggal di sana dengan sebutan itu),  aku lahir di Sinaran, sangat dekat dengan pusat kota. Ya, meskipun tetap di kabupaten yang sama, yaitu Bojonegoro.

Ayahku menjadi kepala Madrasah di Sinaran. Kenapa? Aku memang memanggil beliau dengan sebutan ayah, bukan abah atau abi seperti kebanyakan keluarga kiai lainnya. Ibuku juga kupanggil ibu, bukan umi. Keluarga besarku memang tidak ada yang menggunakan istilah arab macam itu. Semuanya biasa saja, itulah yang kukagumi dari turunan Al-Munawwaroh. Orang-orangnya selalu merendah dan hidup dengan gaya yang biasa saja.

Sejatinya hidupku di Sinaran biasa-biasa saja, tidak berbau pondok sama sekali. Ayahku orang yang biasa saja, bukan gus (sebutan untuk anak laki-laki kiai) atau turunan darah kiai. Sedang ibuku memang seorang neng Al-Munawwaroh yang kemudian dipinang oleh ayah dan dibawa ke Sinaran.

Aku adalah anak pertama mereka. Adikku ada dua, yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki. Yang pertama selisih enam tahun dariku, namanya Fahdini Sabilal Jannati, panggil saja Abel. Sedang yang kedua selisih delapan tahun dariku, namanya Ali Musyaffa', panggilannya Ali. Saat ini umurku sudah 21 tahun, usia pas untuk wisuda kemudian menikah kan harusnya.

Ah, lemah. Aku enggan berkhayal hidupku semanis dan semulus itu. Lulus Aliyah, kemudian kuliah dan lulus dengan predikat cumlaude, setelah itu dipinang lelaki --gus misalnya, dan akhirnya menikah. Atau rencana lainnya, seperti selulus Aliyah mondok lagi hingga hafal 30 juz, kemudian wisuda. Gelar neng tidak serta merta membuat hidupku semulus itu.

Mungkin dibenak kalian, seorang turunan kiai macam aku ini pasti hidup dengan berkecukupan. Berkecukupan dalam hal finansial, keilmuan, status sosial, bahkan mungkin menurut kalian aku pasti memiliki masa depan yang cerah. Menjadi bu nyai, penceramah, atau pendakwah. Seorang neng pasti akan mendapatkan jodoh seorang gus, yang kemudian meneruskan kepengasuhan pesantren dan menjadi kiai dan bu nyai.

Stereotip orang-orang memang seperti itu. Memang sih, kebanyakan memang seperti itu. Tapi aku berbeda. Jagan bilang siapa-siapa, sejujurnya aku ingin lepas dari belenggu ke-neng-an ini. Tapi aku tetap ingin menjadi seperti nawaning (bentuk jamak dari neng) di luar sana, yang akhlaknya baik, berpendidikan, dan mengerti adab kepesantrenan.

Baiklah, aku akan bercerita bagaimana terbentuknya nama Neng Ais itu.

Aisyah: Jangan Panggil Aku NengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang