Entah sudah berapa lama aku menyakinkan diriku sendiri, hanya untuk memulai menulis ini.
Berawal dari rajin menstalk instagrammu lagi, mulai menduga-duga apa isi instastorymu tiap hari.
Setelah sekian lama mencoba menghindar, mencoba menghilangkan sekaligus melenyapkan ingatan-ingatan tentangmu; pikiran-pikiran ingin memilikimu.Jadi, apa kabar?
Kuharap kau sehat, tidak flu atau batuk sedikitpun.
Angin September seperti tidak ingin bersahabat dengan siapapun.
Saat aku menulis surat ini malam sedang cerah, bulan sabit dengan bangga memamerkan keanggunannya.Tapi aku tetap begini-begini saja. Sehat lahir batin, setelah kau membangun jarak, belum ada yang berani menyakitiku lagi.
Jika kau bertanya, apakah aku merindukanmu, dengan sangat lantang ingin aku jawab, IYA!
Perempuan tidak tau malu ini rindunya masih tentang kamu-kamu saja.
Tempat yang kukunjungi juga tempat yang kuharap ada kau di sana.
Tapi semesta tak pernah memihak.
Dan otakku terlalu bebal untuk mengerti itu.Oh ya, dia apa kabar?
Berkat cerita-cerita yang kau bagikan di akun sosmedmu, aku sekarang mengerti jika kau sedang mejalani hubungan jarak jauh dengan seeorang yang hampir setiap hari kau rindukan itu.
Apa dengannya kau bahagia?
Apa bahagiamu sekarang lebih besar dari bahagia-bahagia yang kujanjikan?
Apa dia merawat lukamu dengan baik?
Apa dia bisa memberikan pundaknya saat seisi bumi menjatuhkanmu?
Terserah. Aku hanya ingin kau kuat, dengan atau tanpaku.
Tertanda,
aku yang masih ingin menjadi bagian dari cerita bahagiamu.
YOU ARE READING
Surat-surat yang Tak Terbaca
Randomkumpulan surat yang mencoba membawamu hanyut tapi tidak sampai kehilangan arah.