Enam

27.1K 835 30
                                    

Sabtu adalah akhir pekan yang biasa kulewatkan dengan bekerja. Kantorku memang hanya meyediakan hari libur di hari Minggu saja. Tapi kali ini aku merasa sangat malas berangkat bekerja. Aku memilih untuk mengambil cuti, sekalian saja toh kemarin aku sudah terlanjur bolos dan mengatakan bahwa sedang sakit. Febi tak banyak bertanya ketika melihatku pulang dalam keadaan sedikit pucat. Dia sempat menghampiriku pagi ini dan menanyakan keadaanku. Wajahku tampak kusut katanya. Febi menyuruhku beristirahat dan akan menyampaikan ijinku ke kantor.

Sejak pagi sampai siang aku hanya berdiam diri di kamar kosku. Merebahkan tubuh di atas kasur sembari memperhatikan HP yang tergeletak di sampingku. Aku menunggu HP itu berdering. “Kenapa dia nggak hubungi gue sih?” gumamku kesal. Aku meraih HP-ku, menekan tombolnya dan membuka kotak masuk. Tak ada pesan baru. Apa yang terjadi dengannya? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya terus? Aku mulai gelisah dibuatnya. Menyebalkan! Kesal karena menunggu sesuatu yang tak pasti, aku bangkit dan berjalan menuju pintu.

Mampukah kamu…

Menjadi kekasihku dan hidup bersamaku

Yakinlah kepadaku…

Karena kupunya seribu cara untuk membuatmu bahagia bersamaku

Reff dairi D’lapan band mengalun. Bruk. Tubuhku terhempas di atas tempat tidur dan sebelah tanganku sudah menggemgam HP. Begitu cepat respon yang kulakukan. Aku memandangi layar HP-ku. Keningku berkerut, ujung bibirku tertarik ke bawah. Bukan dia. Aku mendesah perlan dan menekan tombol berwarna hijau. Klik. Kutempelkan benda mungil itu ke dekat telingaku. “Hallo, Ma.”

“Hallo, Sayang. Gimana kabar kamu? Kapan pulang?” seru mamaku setengah berteriak, aku sampai harus menjauhkan sedikit HP-ku. Begitulah mamaku, sedikit lebay. Hahaha.

“Vio baik-baik saja, Ma. Gimana kabar mama dan papa?”

“Baik, kamu pulang kapan? Mama kan nyuruh kamu pulang minggu ini. Tidak ingat acara tujuh bulan kakakmu?” tegas mama mengingatkan. Ah, iya. Aku baru ingat kalau bulan ini kehamilan kakak iparku pas tujuh bulan. Pantas saja terdengar suara berisik dari seberang saja. Pasti semua keluarga besarku sedang berkumpul sekarang. Aku menghela napas pendek.

“Iya, Vio baru ingat. Oke deh, Vio pulang. Acaranya besok kan?”

“Iya, kamu pulang besok?”

“Hmm… kayaknya hari ini, Ma. Kebetulan Vio cuti hari ini. Nanti malam mungkin sampai kalau nggak kena macet parah.”

“Ya, sudah. Mama tunggu. Hati-hati di jalan.”

“Iya, Ma.” Krek. Aku menutup teleponku. Dia tidak akan menelepon sepertinya.

***

Seperti yang sudah kujanjikan pada mamaku, aku pulang setelah melalui perjalanan dua jam dari Jakarta-Tanggerang dengan bus. (ngarang banget^^) Sudah beberapa bulan ini aku tidak membawa mobilku sendiri. Aku meninggalkan Toyota Vioz-ku di rumah, papa lebih membutuhkannya dari pada aku. Sesampainya di terminal, aku memilih memakai taksi untuk mengantarku pulang sampai rumah. Karena semua orang di rumah sedang sibuk, tak ada yang menjemputku. Malang sekali nasibku ini.

Pukul tujuh malam aku sampai di rumah. Penyambutan yang terjadi cukup mengesankan dan lain dari biasanya. Mama menghambur memelukku seperti aku sudah setahun tak pulang. Padahal bulan lalu aku juga sudah pulang. Setelah pelukan hangat dari mama, satu per satu tanteku yang kebetulan masih berada di rumahku menyambutku. Kecupan di pipi dan celotehan riang mereka membuat kepalaku pusing. Hal pertama yang mereka tanyakan sangat mudah kutebak. “Kamu pulang sendiri, Vi?” tanya Tante Mia, adik mamaku yang menyambutku pertama kali. Raut wajahnya cemas dan kepalanya menoleh kearah belakangku mencari-cari seseorang. Aku mengangguk. “Vio sendirian, Tante.”

I Want YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang