Dua

33.3K 940 7
                                    

Aku membencinya. Itu berlangsung sejak pertemuan pertamaku dengannya. Pertemuan yang tergolong menyebalkan hingga membuatku harus mendapat omelan panjang dari bosku. Aku kalah telak dalam proses perebutan tender iklan sebuah produk makanan ternama. Dan dialah yang mengalahkanku. Sepanjang dua tahun aku berkarir, aku belum pernah mengalami kekalahan telak seperti itu.

Dua minggu setelah kejadian di apartemen Oscar. Pikiranku masih cukup kacau. Aku masih bertanya-tanya tentang semua yang terjadi di sana ketika kesadaranku lenyap karena mabuk. Semoga tidak ada hal aneh yang kulakukan. Untuk masalah apakah aku tidur dengannya atau tidak, sudah mampu aku atasi. Dan kesimpulanku adalah tidak. Tidak ada bukti-bukti yang cukup jelas tentang itu. Hanya omong kosong Oscar saja.

“Vi, udah sampai nih. Ngapain lo bengong di dalam mobil terus?” Suara Rafli, rekan kerjaku membuyarkan lamunanku. Aku bergegas menyusulnya, turun dari mobil yang ia kendarai. Hari ini kami ada meeting dengan PT Mandotama, sebuah perusahaan kosmetik yang produknya sering laris di pasaran.

Saat kakiku melangkah memasuki gedung PT Mandotama, perasaan tidak enak menyerangku. Ada apa ya? Aku tergolong sebagai orang yang cukup sensitive. Ini pasti sebuah pertanda. Mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Jangan sampai meetingku hari ini gagal. Atau jangan-jangan…….

Semua itu terjawab saat mataku menyorot ke arah lift. Seorang pria berjas hitam rapi dengan tubuh tinggi kekar masuk ke dalamnya. Aku amat mengenalinya. Siapa lagi kalau bukan Oscar. Shit! Aku mengumpat pelan. Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini? Di saat yang sangat penting untuk kelangsungan karirku. Kehadirannya membuatku menjadi ragu untuk melanjutkan langkahku. “Vi, kok lo banyak bengongnya sih? Apa ada masalah?” teguran Rafli menyadarkanku kembali. Aku sedikit tergugup.

“Eh, tidak ada.” Aku kembali melangkah beriringan dengan Rafli.

***

Memasuki ruang meeting hal pertama yang kulihat adalah senyumannya yang hampir membuatku muntah. Sumpah eneg banget ngeliatnya! Tapi aku berlagak cuek tak menanggapinya. Di sisi lain aku juga menangkap sebuah senyum manis dari seorang pria yang duduk di kursi depan paling ujung, tepat di samping kanan kursi yang di duduki oleh Pak Ardi, sang direktur sukses berusia empat puluhan. Seseorang yang menjadi brand ambassador produk proyek iklan yang sedang kami perebutkan, Henri Setyoko. Tampangnya bisa dibilang sangat mempesona. Berwajah oval, alis hitam agak tebal, mata ukuran sedang, kulit putih, dan potongan rambut kriting sebahu. Dia mengingatkanku pada actor film yang lebih tenar duluan sebelum dia, salah satu actor favoritku Nicholas Saputra.

Pada kesempatan sebelumnya Henri memang pernah kugunakan sebagai model pada iklan yang aku garap. Cukup sukses dan memuaskan. Kesuksesannya bukan sekedar karena tampang. Dia memang benar-benar memiliki kemampuan yang bagus dalam berakting.

Aku memilih duduk di deretan kursi sebelah kiri karena tidak mungkin aku duduk di sebelah Oscar yang sudah dulu menempati deretan sebelah kanan. Di tengah-tengah terdapat sebuah meja kaca panjang. Cukup lega posisi dudukku tidak berhadapan persis dengan Oscar, melainkan dengan Henri.

“Baiklah, semua sudah datang. Kita dapat memulai meeting hari ini.” Pak Rino, manager pemasaran PT Mandotama memulai pembicaraan. Aku dan Rafli mulai bersiap. Begitu pula dengan yang lainnya yang mulai memasang raut serius.

Dua jam berjalan lambat. Namun, meeting berjalan dengan lancar. Aku dan Rafli sukses mempresentasikan konsep iklan yang kami tawarkan. Setelah itu tim Oscar ganti mempresentasikan konsep mereka. Pak Rino memberitahukan bahwa hasil keputusan mereka akan diberitahukan seminggu kemudian. Sehingga kami terpaksa menunggu selama itu untuk mengetahui pemenang dari tender iklan ini.

Aku keluar bersama Rafli lebih dulu. “Viona!” Sebuah suara memanggilku. Henry berjalan menghampiriku. Senyum mempesona terkembang di wajahnya. Dia mengobrol denganku sebentar, sekedar berbasa-basi menanyakan kabar dan kesibukan. Suatu hal yang tak kuduga, ternyata Henry orang yang cukup ramah. Sangat berbeda sekali dengan dirinya saat pertama kali bertemu, dingin dan cuek.

I Want YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang