Menjadi mahasiswa tingkat akhir itu memang menyenangkan. Tidak memiliki jadwal di pagi buta, juga tidak memiliki tugas dengan deadline dadakan padahal yang harus dikerjakan begitu banyak. Bisa sedikit bermalas-malasan meski revisi menumpuk. Ah, sesungguhnya Jihan malas sekali harus kembali membenahi kata per kata dari tugas akhirnya. Namun, apa boleh buat? Kalau bukan diri sendiri, siapa lagi memangnya yang mau berjuang?
Untuk hari ini, gadis itu sengaja bangun lebih awal karena sudah memiliki janji dengan dosen pembimbing. Biasa, mahasiswa tingkat akhir memang pergi ke kampus jika ada jadwal bimbingan. Kalau tidak, pasti tak akan sudi. Ya, mungkin sekali-kali untuk menjilat agar proses pembuatan tugas akhir dipermudah. Tiba-tiba berbuat baik pada dosen dan membantu membawakan barang-barangnya menuju mobil, contohnya. Rekan-rekan seperjuangan Jihan banyak sekali yang melakukan hal itu. Mode pejilat harus terus aktif. Prinsipnya; menjilat untuk masa depan yang lebih baik. Dasar mahasiswa.
"Selamat pagi, Sayang. Sudah bangun?"
Kedua sudut bibir Jihan seketika tertarik saat mendengar sapaan pagi yang begitu manis, "Sudah. Bahkan sudah cantik dan siap diantar oleh pangeran tampanku."
Pemuda yang ada di seberang sana terkekeh, "Silahkan turun dan temui pangeranmu dibawah. Aku menunggu untuk kecupan pagi."
Kini gadis Min itu yang terkekeh sembari meraih backpack yang berisi dokumen-dokumen tugas akhir, "Dasar pangeran mesum!"
Setelahnya ia bergegas turun. Bersenandung lirih seraya menunggu lift sampai di lantai dasar. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan sebuah mobil yang begitu familiar akibat terlalu sering ia tumpangi.
"Selamat pagi, cantikku. Segar sekali, cium dulu," pria yang sedari tadi menunggu, menarik lembut kepala sang gadis untuk membubuhkan kecupan singkat.
"Masih terlalu pagi untuk berbuat mesum, Tuan Kim Seokjin," protes Jihan pada kekasihnya.
"Aku tidak mesum. Aku hanya memberi kecupan pada kepalamu. Tidak tahu kalau nanti siang," si Kim tampan itu menarik turunkan alisnya. Menggoda sang kekasih sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan.
"Aku sedang menstruasi, asal kau tahu."
"Pembohong."
"Ingin kutunjukan pembalut dengan banyak noda merah yang membuatmu jijik?"
"Tunjukan saja," tantangnya.
Namun, tepat saat Jihan menurunkan resleting jeansnya, Seokjin memekik, "Hentikan, sialan! Astaga, sepertinya hanya kau yang tega melemparkan pembalut pada kekasihnya."
"Memang kau kekasihku?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Calon suamimu."
Alhasil Jihan terkekeh geli. Selalu begini, merasa bahagia jika bersama dengan sosok kekasih yang periang. Meski terkadang lelucon yang diberikan sulit diterima—old jokes. Namun, ia tetap merasa nyaman. Ya, maklum saja. Umur mereka memiliki rentang yang cukup signifikan—tujuh tahun, dan Seokjin hanya perlu menunggu gadisnya menyelesaikan studi untuk memiliki secara penuh.
"Mau ditunggu atau dijemput saat selesai?" tanya Seokjin lagi saat sampai tujuan. Pria itu selalu menawarkan waktu untuk kekasihnya meski sebenarnya tidak memiliki banyak waktu luang.
"Aku bisa pulang sendiri, kau pasti sibuk dengan pacar keduamu," sahut sang gadis sembari memberikan usapan lembut pada pipi kekasihnya.
"Memang, pacar keduaku itu menyulitkan sekali. Mereka bisa mengacaukan segalanya jika tidak disentuh barang sehari," kini Seokjin yang mengulurkan tangan untuk mengusap kepala gadisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep It Secret
FanfictionMereka memilih jatuh dalam kubangan dosa besar dan melepaskan apa yang telah menjadi miliknya. September, 2019. ©alkaloids