Penyesalan memang seringkali datang terlambat. Tidak, penyesalan memang selalu datang terlambat. Apalagi jika sebuah keputusan diambil secara terburu. Jihan berkali-kali menghadiahi kepalanya dengan pukulan yang cukup kuat akibat kebodohan yang telah ia lakukan. Berkali-kali pula merutuki dirinya akibat mengambil keputusan yang sangat beresiko.
"Astaga! Bagaimana bisa aku begitu menikmati sentuhan si Jungkook brengsek itu?" gumamnya begitu lirih, penuh penyesalan, dan tanda tanya yang begitu besar pada dirinya. Atensinya terus mengarah pada layar yang menampilkan deretan kata dari tugas akhir.
"Ya, memang dia cukup tampan, tapi astagaㅡ" gadis itu kembali mengacak surai hitam sebahunya.
"Aku tidak seharusnya melakukan halㅡ"
"Melakukan apa, Sayang? Apa yang sedang kau sesali?"
Jihan terperanjat, bangkit dari kursi dengan terburu karena suara kekasihnya muncul tiba-tiba. Saat ia berbalik, ternyata Kim Seokjin sedang tersenyum lebar. Meski sudah larut dan baru saja selesai bekerja, pria itu masih tetap terlihat tampan dengan kulit wajah yang sedikit berminyak.
"Astaga, Sayang. Jantungku hampir saja melompat. Kenapa tidak menghubungi terlebih dahulu?" ujar Jihan sembari menggerakkan tungkainya ke arah sang kekasih.
Saat sampai di hadapan Seokjin, gadis itu menaikkan lengan untuk mengusap pelan pipi sang kekasih yang kian hari terlihat semakin mengecil, "Kau tidak makan dengan baik hari ini?"
Si tampan Kim itu mengangguk samar beriring kerjapan lembut akibat mendapatkan perlakuan manis dari sang gadis. Rasanya senang sekali jika mendapat perhatian di saat tubuh merasa lelah, "Hanya sedikit, kekasihku menginginkan sentuhan setiap saat. Menyebalkan sekali."
Jihan terkekeh akibat itu. Lucu sekali jika melihat Seokjin mengeluh akibat pekerjaan. Kekasih yang dimaksud si Kim disini adalah dokumen-dokumen yang harus selalu ia periksa dan tanda tangani.
"Kalau begitu," gadis Min itu mengikis jarak sebelum merengkuh tubuh besar kekasihnya, lengkap dengan tepuk menenangkan yang diberikan pada punggung, "Semoga ini bisa menghilangkan lelahmu."
Seokjin sukses mengulas senyum dibalik tubuh mungil kekasihnya. Ia balas merengkuh erat sembari memejam merasakan kasih sayang yang diberikan, "Kalau begini rasanya aku semakin mencintaimu. Cepat selesaikan tugas akhirmu agar kita cepat menikah."
Dahulu saat mendengar kata pernikahan terlontar dari bibir manis Seokjin, Jihan bahagia bukan main. Perasaan menggebu juga datang begitu tiba-tiba. Namun, sekarang? Yang datang saat kekasihnya menyinggung pernikahan adalah rasa bersalah yang begitu besar. Karena secara tidak langsung, dirinya sudah menyakiti dan mengkhianati sang kekasih yang begitu setia mencinta dan menunggu sampai saat itu tiba.
"Hey, kenapa diam saja?" Kim Seokjin menarik diri, mengurai rengkuhan hanya untuk meneliti pancar manik sang kekasih.
"Oh, t-tidak apa-apa. Hanya saja otakku kembali berpikir bagaimana cara menyelesaikan tugas akhir dengan cepat. Agar kita cepat menikah. Ya, menikah," Jihan tersenyum namun dipaksakan, dan Seokjin jelas tahu itu. Menjalin hubungan selama lima tahun bukanlah hal sulit untuk mengetahui perubahan sikap pada pasangan.
Namun, pria itu jelas berusaha mengubur rasa penasaran meski ia benar-benar ingin tahu penyebab dari perubahan sikap kekasihnya yang begitu mendadak saat menyinggung pernikahan. Ia juga tidak ingin mengutamakan pikiran negatif meski diakui beberapa kemungkinan terburuk sudah terlintas di kepalanya. Namun, untuk saat ini biarlah seperti ini. Mungkin gadisnya hanya kelelahan.
"Ya sudah, kalau begitu aku harus kembali ke rumah," kini Seokjin mengusap puncak kepala gadisnya begitu lembut.
Tapi Jihan mencebik, merasakan perubahan mood yang begitu cepat saat kekasihnya memutuskan untuk kembali ke rumah padahal baru saja tiba beberapa menit yang lalu, "Buru-buru sekali. Tidak menginap? Aku merindukanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep It Secret
FanfictionMereka memilih jatuh dalam kubangan dosa besar dan melepaskan apa yang telah menjadi miliknya. September, 2019. ©alkaloids