Jeon Jungkook tidak bodoh. Dia tahu jika dia sedang diikuti.
Lagipula, motor sport hitam dengan aksen merah menyala dengan kapasitas 248 cc seperti itu lebih cocok ngebut melewati batas kecepatan minimum, bukannya melaju lambat sepuluh meter di belakangnya yang sedang berjalan kaki.
Motor itu sudah mengikutinya sejak beberapa saat dia keluar dari stasiun. Malam sudah turun dan semakin jauh dari stasiun, jalanan semakin sepi. Satu kali, Jungkook yang terlanjur kesal dan sok berani menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap si pengendara motor menjurus stalker yang sudah mengikutinya selama lima menit penuh. Dia berniat menyemprot orang itu, tapi ternyata si pengendara motor mirip seperti Ghost Rider minus kepalanya yang serupa tengkorak terbakar. Dia memakai pakaian serba hitam; mulai dari jaket kulit hingga sepatu boot di atas mata kaki.
Alarm bahaya Jungkook berbunyi nyaring di dalam kepala. Nyalinya ciut seketika.
Jangan-jangan orang itu adalah mafia?!
Maka, Jungkook kembali membalikkan badan dan melanjutkan langkah. Kali ini jelas terburu-buru, berlomba dengan degup jantungnya yang berpacu. Otaknya menjungkir balik area memori untuk memanggil ingatan jika dia pernah membuat masalah dengan orang yang salah. Tapi, tak ada satupun ingatannya yang sesuai deskripsi barusan. Dia anak yang baik, selalu begitu. Semua kenakalannya hanya dia tunjukkan kepada hyung-hyung-nya saja. Tidak mungkin kan hyung-hyungnya mengirim pembunuh bayaran hanya karena dia iseng memasukkan garam banyak-banyak ke adonan pancake tadi pagi?
... Oke, mungkin dia memang agak keterlaluan karena Hobi-hyung lari terbirit-birit ke kamar mandi untuk muntah dan Jin-hyung sudah siap menusuknya dengan spatula, tapi dia tahu mereka semua punya soft spot untuknya, mereka semua menyayanginya.
Lalu, kenapa dan bagaimana dia bisa berada di situasi ini?
Bola mata Jungkook berbinar ketika menemukan sebuah minimarket di sisi kiri jalan dengan cahaya benderang yang menariknya mendekat bagai kunang-kunang. Dengan langkah semakin dipercepat, dia masuk kedalam.
Dinginnya AC menerpa kulitnya yang tak terlindung pakaian, sedikit membantu menurunkan panas tubuhnya yang melonjak. Kemeja seragamnya sudah menempel di tubuh akibat banyaknya keringat yang dia timbulkan. Dia merenggut sebotol air mineral dari lemari pendingin dan meminumnya hingga tandas di tempat, sebelum kembali berjalan melewati deretan rak-rak menuju bagian paling dalam yang tersembunyi. Di sana, dia mencoba mengatur respirasi. Menenangkan diri.
Sial. Kenapa dia setakut ini? Kenapa tiba-tiba situasinya menjadi seperti genre thriller di mana dia menjadi target dan pembunuh sadis sedang mengincarnya?
Oke, tenang. Jungkook, tenang.
Tangannya yang agak gemetar mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ibu jarinya menekan tombol Kontak dan deretan nama-nama hyungnya yang siap membantu dan menyelamatkannya berjarak satu panggilan saja.
Tapi, apa benar situasinya segenting itu sehingga dia butuh bantuan hyung-hyungnya?
Jungkook mengacak poninya, frustasi. Dia mungkin senang menjahili hyung-hyungnya, tapi satu hal yang dia benci adalah merepotkan mereka, membuat mereka khawatir. Dia mungkin senang dihujani perhatian dan kasih sayang mereka tapi dia juga benci diperlakukan bagai anak kecil.
Kau hampir delapan belas tahun, Jungkook, kau bisa mengatasinya sendiri. Dan hyung yang lain pasti sibuk. Mereka tidak punya waktu untuk omong kosong ini.
Ponsel tersebut kembali masuk kedalam tas dan Jungkook menarik napas panjang. Oke, coba pikirkan kembali semuanya dengan baik.
Mungkin si pengendara motor mencurigakan itu hanya kebetulan searah dengannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
plot bunnies
Fanfictionide-ide iseng yang melintas sekilas, atau terinspirasi dari cuitan tuiter dan random post tumblr.