Right shot

4.2K 272 89
                                    

Naruto selalu mempercayai nalurinya dibanding apapun. Saat teman-teman sekolahnya dulu memilih bungkam untuk berbicara di depan umum sebagai perwakilan penonton acara tahunan sekolah, dengan inisiatif serta kepiawaiannya pemuda pirang itu melangkah maju di depan podium. Walau sedikit canggung saat memulai, setidaknya ia mendapat standing ovation di akhir acara.

Apa ini semacam sarkasme?

Jemarinya menyusun goblet dengan apik di rak katalog yang dipoles mengkilap oleh varnish. Pria itu melangkah mundur dan tersenyum puas saat melihat hasil kerjanya. Ah, Naruto paling gemar jika sudah menata ulang koleksi gelas kacanya itu di cafe. Mungkin bisa berjam-jam matanya memandangi benda cantik tapi mati itu.

Suara derit pintu beriringan dengan bunyi bel yang bergemerincing ringan berhasil membuat Naruto mengalihkan atensinya. Sudah tujuh hari terhitung hingga sekarang sosok sahabat lamanya itu selalu mengunjungi cafe di jam-jam yang sama, setiap malam. Rasanya seperti jadwal pekerjaan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Naruto tersenyum ramah menyambut kedatangan sosok pria jangkung yang berjalan tenang mendekatinya.

"Ingin pesan sesuatu, tuan?"
Berbincang ringan sebagai basa-basi merupakan caranya untuk mengambil hati. Sederhana memang, karena hampir setiap orang melakukannya sebagai alat hubungan.

"Kau tahu pilihanku." Suaranya terdengar dalam saat memberi jawaban. Garis bibirnya sedikit tertarik membuat senyum tipis bersama mata elang yang kian menajam.

Bahkan Naruto berpikir berapa wanita yang mampu bertekuk lutut dihadapan pria bermantel hitam bak alpha dihadapannya ini? Oh, entahlah.

Namun, apalagi yang bisa Naruto tawarkan jika lidah tajamnya sudah stuck pada rasa pahit minuman berkafein itu? Nothing. Pria raven itu adalah tipikal orang yang akan tetap pada posisinya jika ia merasa nyaman.

"My pleasure, dear."

Sasuke menuju bar stool tanpa berpaling dari sosok yang menjadi pusat perhatiannya. Malam ini ia memilih tempat yang berbeda, lebih dekat jangkauannya dari si peracik kopi. Meja berbahan mahoni pada sekat counter berdiri hanya sebagai pembatas di antara mereka.

Naruto terlihat menggunakan apron pada tubuhnya, lalu meraih beberapa bahan racik seraya membelakangi sang customer. Sesekali pria bersurai pirang itu melirik sekilas pada sosok Sasuke yang terlihat tenang. Ada sebersit pertanyaan yang mampir di benaknya. Apa sahabat lamanya itu sangat menjaga kesehatan sehingga Naruto tak pernah melihat dirinya minum?

Maksudnya, apa Uchiha Sasuke tidak bosan?

"Sepertinya kau maniak sekali dengan kopi." Bersamaan dengan ucapannya itu Naruto meletakkan secangkir kopi tepat dihadapan sang Raja. Okay, bukankah setiap pelanggan adalah Raja?

"Pilihanku tidak bisa tergantikan, bukan begitu?"

Naruto mengangkat sebelah alisnya seraya berkacak pinggang.

"Kau seperti sedang bermain drama saja." Sahut Naruto diiringi tawa lepas yang terdengar ringan. Air mata sedikit tampak dari sudut kelopaknya karena menahan tawa. Sungguh, menurutnya Uchiha Sasuke yang sekarang terasa lebih hidup dibanding dulu. Bahkan, terdengar melankolis di pendengaran Naruto jika sekalinya bicara.

Pilihannya memang tidak pernah berubah, sejak dulu.

Sasuke mendengus remeh seraya memalingkan wajah. Garis bibirnya tersenyum sinis. Kenapa rasanya mulut Naruto semakin tajam? Bahkan sarkasme yang ditujukannya itu terdengar seperti godaan kecil di telinganya.

Pria pirang itu terkekeh sekilas sebelum akhirnya berlalu pergi menuju counter pemesanan. Sosok Konan yang masih berdiri mengenakan apron memandang sang bos dengan sekat counter yang membatasi keduanya.

𝕎𝕙𝕖𝕣𝕖'𝕤 𝕞𝕪 𝕝𝕠𝕧𝕖? (𝚂𝚎𝚚𝚞𝚎𝚕 𝙰𝚗 𝙾𝚕𝚍 𝚃𝚊𝚕𝚎)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang