'29 Mei, tanggal dimana dia dilahirkan, seperti ulat menjadi kupu-kupu, dia putri kecil yang bermetamorfosa menjadi gadis yang cantik. Aku selalu terjatuh sangat dalam saat menatap matanya, seolah tersesat tapi tak ingin kembali lagi. Dia adalah rinai indah di setiap hujanku. Dapatkah aku memilikinya?'"Lo lagi nulis apa sih, Wa?" Rinai datang tiba-tiba di belakang Dewa, mencoba meraih buku terdapat tulisan indah Dewa, tapi siswa laki-laki itu sudah berhati-hati sebelumnya, ia segera menyembunyikan buku tersebut ke dalam loker, menjauhkan dari sosok keingintahuan Rinai. Tidak ingin Rinai mengetahui apa yang ia tulis, Dewa menariknya keluar kelas.
"Jadi orang gak usah kepo, mending kita ke kantin" Rinai mencibir, lalu mengikuti langkah Dewa yang berjalan meninggalkannya.
"Sejak kapan sih seorang Dewa nyembunyiin rahasia sama sahabatnya sendiri?" Rinai duduk dihadapan Dewa sambil mendongakkan kepalanya, isyarat menunggu jawaban dari laki-laki itu.
"Sejak sahabatnya itu menjadi orang terkepo paling akut di hidupnya," Dewa mengacak pelan rambut Rinai, lagi-lagi Rinai mencibir. "Sana gih pesenin gue ketoprak sama teh botol," titah Dewa selanjutnya
Rinai berdiri dari tempatnya, tapi bukan untuk memenuhi perintah dari Dewa, Rinai keluar dari kantin begitu saja, tentu saja Dewa tau dengan tingkah laku sahabatnya itu, ia hanya tersenyum lalu memesan makanannya sendiri.
...
Bel masuk sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu, pelajaran kedua juga sudah dimulai, tapi Dewa belum juga menunjukan batang hidungnya di dalam kelas, tidak seperti biasanya Dewa seperti ini, Rinai khawatir terjadi sesuatu terhadap Dewa, tapi jika Dewa terluka pasti sudah ramai sejak tadi karena masih di lingkungan sekolah, apakah Dewa membolos? Mungkin ia pergi keluar lewat tembok belakang sekolah? Rinai langsung menggelengkan kepalanya menepis pikiran-pikiran aneh yang melayang begitu saja di kepalanya, Dewa pasti tidak akan pernah melakukan itu.
"Rinai? Apa ada sesuatu yang menggangu pikiran kamu?" guru yang sedang mengajar itu melihat gelagat Rinai yang terlihat gelisah.
"Maaf Bu, saya tidak kosentrasi, saya izin ke toilet sebentar,"
Rinai melangkah cepat keluar dari kelas, ada beberapa siswa yang juga belum memasuki kelas mereka masing-masing, tapi ia tidak perduli, Rinai terus menyusuri koridor sampai ia melihat sosok Dewa yang berdiri mematung di depan mading.
"Dewa, kenapa belum masuk kelas sih?" nada suara Rinai bisa dibilang marah, tapi Dewa tetap tenang dengan senyumnya yang terus mengembang.
"Ini orang ditanya cuma senyum-senyum doang, dasar aneh" Rinai masih belum memahami kondisi Dewa saat ini. "Wa, ayo masuk kelas," Dewa masih saja mematunng di tempatnya.
"Lo ngeliatin apa sih dari tadi di mading? Perasaan gak ada yang istimewa," Rinai juga ikut melihat seluruh isi mading, tapi tetap saja dia tidak menemukan apa yang membuat Dewa seperti itu.
"Lo lihat Rin? ini turnamen puisi yang diadakan seluruh indonesia, peserta yang lolos dalam 10 besar akan mengikuti pertandingannya di Singapura," Dewa menunjuk browsur yang sejak tadi ia lihat agar Rinai juga mengetahuinya.
"Oh itu," respon Rinai terlihat biasa saja, tapi Dewa tetap tersenyum.
"Itu bisa gue jadikan kesempatan," mendengar itu Rinai merasakan kesedihan yang tersembunyi dalam senyum lebar Dewa.
"Gue yakin lo pasti menang, karena gue tau puisi indah selalu hadir di hati terdalam lo," mereka berdua sama-sama tersenyum sambil menatap mading, Rinai bahkan lupa tujuannya keluar dari kelas.
"Wa, kita udah lama keluar kelas, kita harus buat alasan apa?"
"Tenang, ada Dewa di sini." Dewa menunjuk dirinya penuh dengan rasa bangga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rinai (Hide And Seek)
Teen FictionSebuah arti yang lucu, seolah direncanakan oleh waktu. Aku disini duduk beralaskan pasir pantai dan deru ombak mengiringi tangisan akan kepergianmu. Seperti tidak diizinkan menunggumu kembali, aku mempertaruhkan sakitnya mencari mu. Untuk Dewa, ap...