"... You do not want me, and you are not mine."
.
.
.
Suasana bandara yang penuh sesak dengan lalu lalang manusia, seolah hanya angin lalu bagi Damara. Ia tetap asyik menyesap kopi hitam dari botol tumblr di tangannya. Ia sedang duduk di ruang tunggu bandara, diapit oleh kedua orang tuanya di sisi kanan dan kiri. Sang ibu sudah sejak setengah jam tak henti memberi wejangan untuk Damara, sesekali mencolek pipi sang anak agar fokus mendengarkan beliau. Sedangkan ayahnya, terus saja memandangi Damar, seolah takut jika beliau mengalihkan pandangannya sebentar saja, gadis itu akan pergi meninggalkannya.
Di depan mereka bertiga, duduk dua pemuda yang memandang jengah ke arah orang tua dan adiknya. Mereka adalah Gibran dan Gadhing, kakak kandung Damara. Menghela napas jengah, Gibran memutuskan untuk menghentikan drama di depannya. Mengambil tempat di samping sang ibu, pria berusia 29 tahun itu menyodorkan jam tangan ke hadapan ibunya.
"Bu, 15 menit lagi pesawatnya Rara take off loh." Ujar Gibran singkat, mendapat tatapan penuh binar dari sang adik yang sudah bosan mendengar wejangan ibu tercinta.
"Tapi-"
"Nah tuh bener bu, nanti kalo Rara ketinggalan pesawat gimana."
"Biarin aja, biar kamu ndak jadi ke London!"
"Wes, wes, Rara, ayo cepet siap-siap. Selak take off pesawat e." Akhirnya sang ayah bersuara, beliau segera mengambil koper dan tas Rara-panggilan akrab Damara-. Sejujurnya Damara mengerti mengapa orang tuanya sangat tidak rela membiarkan ia ke London untuk melanjutkan S2-nya. Bukan mereka tak mendukung sang anak untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, hanya saja Damara adalah anak terakhir dan perempuan satu-satunya di keluarga. Yang sejak kecil menjadi kesanyangan keluarga besar, belum lagi kedua kakak laki-lakinya sangat protektif.
Dalam pikiran ibunya, di Indonesia masih banyak universitas yang bagus, tak kalah dengan di luar negeri, untuk apa sampai jauh jauh ke London. Namun, Damara kukuh untuk ke London karena ingin langsung belajar Sastra Inggris langsung dari negara asalnya.
Tapi, ada satu lagi alasan yang membuat ia mantap untuk mengambil kesempatan kuliah di London. Tiga bulan lalu, ia tak sengaja mendengar percakapan ibu dan budhenya yang sedang membahas seorang laki-laki yang akan dijodohkan dengannya.
Damara kaget, tentu saja. Demi Tuhan ia masih muda, ia bahkan baru menginjak 25 tahun bulan lalu, dan sekarang ibunya sudah memikirkan jodoh untuknya. Hal yang biasa memang, mengingat teman-temannya sudah banyak yang menikah dan memiliki anak. Tapi, tidak bagi Damara. Nikah muda tidak ada dalam rencana hidupnya, ia masih ingin bebas, membahagikan ayah ibunya, dan membahagiakan dirinya sendiri.
Maka, dengan segera ia berbalik ke kamarnya, mengambil ponsel dan meghubungi Alea. Sahabatnya sejak kuliah yang sekarang sudah lebih dulu melanjutkan S2 di London. Beberapa waktu lalu Alea mengabari Damara bahwa di kampusnya sedang membuka beasiswa untuk S2, saat itu Damara masih ragu, sehingga ia memutuskan untuk memikirkannya terlebih dulu. Namun, sekarang sudah tak ada lagi keraguan, dengan mantap ia mengiyakan tawaran Alea.
Setelah mengurus berbagai keperluan dan berkas-berkas, sekarang waktunya ia berangkat menuju London, meninggalkan keluarga tercintanya untuk sementara. Sang ibu memeluknya erat sambil menahan air mata, tak lupa ayah dan kedua kakak laki-lakinya juga memberinya pelukan hangat.
"Mas janji bakal sering-sering ke London jenguk kamu." Ini Gadhing yang bicara, lalu mencium kedua pipi Damara dan mencubit gemas pipi gembul kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Awan
RomanceDengan modal nekat, Damara berangkat ke London untuk melanjutkan S2. Siapa sangka, di sana ia bertemu dengan Awan Samudera, pria asal Indonesia yang juga sedang melanjutkan S2-nya. Tatapan tajam serta senyuman sehangat matahari pagi, membuat Damara...