Bagian 3

58 8 0
                                    

"I see you. You see her.."

.

.

.

Suara berisik dari dapur menghentikan aktivitas Damara yang sedang merangkum jurnal untuk presentasi besok. Ia mengabaikan laptopnya yang masih menyala terang dan berjalan menuju asal suara berisik. Dari pintu dapur, ia melihat housemate-nya sedang berdiri di atas kursi mencari sesuatu di dalam lemari. Beberapa bungkus makanan instan bahkan sudah tergeletak di lantai akibat tingkah bar-bar Alea.

"Lo mau masak apa berantakin dapur sih Le!" Ucap Damara kesal sambil memunguti barang-barang di lantai. Sedangkan si pelaku hanya nyengir, ia menghentikan kegiatannya mengacak-acak isi lemari dan turun dari kursi.

"Gue lagi nyari roti gandum buat bikin sandwich, kok nggak ada ya?"

"Terus ngapain sampe nyari di lemari atas?"

"Ya kan kali aja gue lupa naruh rotinya di atas Dam."

"Eh bentar, bukannya roti udah abis ya? Kan kemaren tinggal dikit trus lo bilang abisin aja, tanggung."

"Eh iya ya. Kok gue bisa lupa sih." Alea menertawakan dirinya sendiri sedangkan Damara hanya menggelengkan kepalanya, sudah sangat hapal dengan sifat pelupa sahabatnya itu.

"Ya udah, biar gue aja yang beli."

"Ok, kalo gitu gue bikin isiannya dulu."

Sebelum keluar, Damara tak lupa memakai mantel tebalnya. Udara pertengahan September semakin dingin, meski hanya keluar sebentar, ia tak mau ambil resiko untuk membiarkan angin dingin menerpa tubuhnya dan berakhir dengan flu.

Damara berjalan santai dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku mantel. Jam baru menunjukka pukul 9 malam, namun jalanan sudah terlihat lengang. Mungkin kebanyakan orang sedang bergelung nyaman di rumah masing-masing, atau mungkin juga sedang berkumpul di pusat kota London menikmati indahnya kerlap kerlip lampu kota.

Beberapa menit berjalan, Damara sudah sampai di minimarket tujuannya. Belum sempat masuk ke dalam, matanya tak sengaja menatap pemandangan sesorang yang amat dikenalinya tengah duduk di kursi depan minimarket, dengan segelas minuman dan asap yang masih mengepul. Lagi-lagi tanpa bisa dicegah jantungnya berdebar kencang tak beraturan. Ia bahkan sampai meremat dada kirinya yang terasa sakit.

Ia masuk ke dalam minimarket dengan langkah pelan dan pandangan yang tertuju pada seseorang tersebut yang tak lain adalah Awan Samudera. Pria itu tak sendiri, ia bersama dua orang lagi, melihat dari ciri fisiknya Damara menebak 2 orang yang duduk di depan Awan adalah orang asli UK.

Saat sudah sampai di dalam, ia tak langsung menuju rak roti melainkan berjalan ke arah jejeran lemari pendingin yang terletak dekat dengan dinding kaca yang menampilkan keadaan luar minimarket. Karena dari sini, ia dapat melihat Awan dengan jelas.

Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah benar alasan kenapa jantungnya berdgup kencang tak beraturan karena ia sudah jatuh cinta pada pria itu? Pikiran rasionalnya jelas menolak alasan tersebut. Mereka belum pernah mengobrol sama sekali. Ia bahkan yakin Awan tidak mengetahui namanya.

Meskipun mereka tinggal di gedung yang sama, namun mereka jarang sekali bertemu. Dan hal itulah yang membuatnya terus menyangkal bahwa ia sedang jatuh cinta.

Damara masih terus memperhatikan Awan di depan sana. Awan yang sedang tersenyum, Awan yang menyibak rambut tebalnya, Awan yang menatap serius temannya saat berbicara, pandangan matanya yang tajam, semua hal tersebut membuat senyum simpul terbit di wajah Damara.

Yang tak disangka Damara adalah saat Awan menoleh tepat ke arah ia berdiri. Seluruh tubuhnya mendadak kaku, ia bahkan tak bisa mengalihkan pandangannya dari Awan yang juga sedang menatapnya dari luar. Untuk sesaat ia merasa suara-suara di sekitarnya perlahan menghilang, namun suara detakan jantungnya malah semakin kencang.

Mengejar AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang