"I wish that you would love me.."
.
.
.
Damara merapatkan bibirnya mencoba menahan kantuk yang menyerangnya. Matanya masih fokus ke depan mendengarkan dosennya yang sedang menjelaskan tentang Linguistic. Sejujurnya, dari dulu Linguistic adalah mata kuliah yang cukup membosankan untuk Damara. Ia lebih suka tenggelam dalam berbagai teori sastra seperti Marxisme ataupun feminism.
Ah, ngomong-ngomong, ini sudah minggu kedua Damara menjalani perkuliahan di kampus ini. Meskipun baru 2 minggu, namun Damara sudah merasa nyaman dan tak kesulitan mengikuti pembelajaran di sini yang jelas berbeda dengan di Indonesia.
Saat ia sibuk mempertahankan agar matanya tetap terbuka lebar, suara ketukan pintu menginterupsi sang Dosen yang akan menulis sesuatu di papan tulis.
"Come in." Setelah sang dosen, Professor Broadhurst mempersilahkan si pengetuk pintu masuk, seorang pria dengan long coat berwarna hitam membingkai tubuh tingginya muncul dari balik pintu. Ia menyerahkan selembar amplop berwarna coklat kepada Prof Broadhurst.
"Mr. Samudera, right? Okay, take your seat." Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda tinggi itupun segera berlalu menuju deretan bangku-bangku, mencari yang masih kosong. Mata kuliah dari Professor Broadhurst adalah yang terpadat dibanding yang lain. Tak heran, hampir seluruh bangku dan meja sudah terisi oleh mahasiswa.
Untungnya masih ada satu tempat yang kosong, baris keempat dari atas. Tersenyum lega, ia segera berjalan ke arah bangku tersebut dan mendudukkan tubuhnya di samping seorang gadis yang terus menundukkan kepalanya. Tak mau ambil pusing, ia mulai mengeluarkan laptop, buku catatan, dan fokus memperhatikan penjelasan dosen di depan.
Yang tidak ia tahu, gadis yang terus menunduk di sampingnya tak lain adalah Damara. Sejak si pria tinggi itu melangkah ke dalam kelas, ia sudah kehilangan fokusnya. Fakta bahwa si pria yang merupakan tetangganya di flat ternyata mengambil jurusan yang sama dengannya bahkan satu kelas, membuatnya terkejut. Belum lagi ia harus menenangkan debaran jantungnya yang tak bisa diam.
Akhirnya, selama sisa perkuliahan tak ada satupun materi yang dapat ia cerna. Yang ada dalam pikirannya adalah, ia ingin segera keluar dari kelas dan menjauh dari pria di sampingnya, agar jantungnya dapat berdetak normal lagi. Damara sendiri dibuat bingung kenapa ia terus berdebar sejak pertemuan pertama mereka dua minggu lalu.
1 jam kemudian, Professor Broadhurst mengakhiri sesi perkuliahannya. Damara langsung bernapas lega, dengan terburu-buru ia membereskan barang-barangnya. Sebelum beranjak dari bangkunya, Damara menyempatkan diri untuk melirik meja di sampingnya. Berbeda dengan Damara yang terlihat sangat grasu grusu ketika membereskan barangnya, si pria tinggi masih santai mengetik sesuatu di laptopnya. Di samping laptop, tergeletak sebuah buku catatan bersampul abu-abu polos dengan tulisan Awan Samudera's di atasnya.
"Namanya lucu." Batin Damara sambil berjalan keluar kelas.
Damara berjalan dengan langkah pelan di sepanjang koridor kampus. Pikirannya masih tertuju pada si pemuda tinggi bernama Awan. Rona merah perlahan menghiasi pipinya saat ia terus mengulang nama Awan dalam batinnya. Namun, dengan cepat ia menggelengkan kepala, mencoba menyadarkan dirinya sendiri.
"Kayaknya aku butuh kopi." Ia segera berjalan cepat meninggalkan koridor menuju coffee shop yang masih berada di area dalam kampusnya.
Damara masuk ke dalam coffee shop yang sudah dipadati oleh para mahasiwa. Ia memesan caramel macchiato dengan tambahan two espresso shots dan membawa minumannya untuk ia nikmati di luar ruangan yang sudah tersedia banyak bangku. Sepertinya cuaca bulan September yang sudah mulai dingin, membuat orang-orang memilih untuk menikmati kopinya di dalam ruangan sambil menghangatkan tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Awan
RomantizmDengan modal nekat, Damara berangkat ke London untuk melanjutkan S2. Siapa sangka, di sana ia bertemu dengan Awan Samudera, pria asal Indonesia yang juga sedang melanjutkan S2-nya. Tatapan tajam serta senyuman sehangat matahari pagi, membuat Damara...