2 // Latar Belakang
___________________________________________
Aku adalah salah satu orang yang menentang statement "jangan pemilih dalam berteman". Maaf sebesar-besarnya kepada guru-guru SDku yang berusaha menanamkan nilai itu dalam diriku. Jujur saja, aku sudah punya yang namanya geng sejak SD. Nama dari gengku dulu, drum rolls, adalah Brilliant Angel Girls. Malu tidak malu, ngaku tidak ngaku, itulah kenyataannya dan fun fact: Aku adalah ketua dari geng tersebut.
Ya, benar, ketua secara resmi. Seresmi-resminya. Hitam di atas putih.
Kami dahulu punya semacam piagam yang ditulis tangan tak lain oleh diriku, disaksikan kelima anggota lain dari geng kami. Piagam itu dituliskan di sebuah kertas loose leaf atau lebih sering disebut binder. Pada zaman itu, gencar sekali kami bertukar binder di kelas. Untuk piagam itu, kami pilih binder yang pada saat itu dianggap langka dan lebih berharga dibanding yang lain: binder Harvest. Inspirasi kami tak lain adalah Jakarta Charter dan Proklamasi Kemerdekaan yang baru diajarkan di pelajaran kewarganegaraan pada saat itu. Isi dari piagam itu adalah susunan kepengurusan dilengkapi dengan tanda tangan kelompok--yang kuciptakan sebagai seorang ketua--di bagian kanan bawah.
Sebuah keributan sempat tercipta saat geng sebelah membuat piagam juga, meniru geng kami. Piagam-piagam Harvest ini tidak hanya meresmikan berdirinya geng-geng di kelasku, tapi juga permusuhan diantaranya. Kuingat dengan jelas peristiwa dimana salah satu temanku dilumuri lem sebelum pulang sekolah oleh ketua geng sebelah. Kenapa? Karena temanku ini terlibat perseteruan dengan geng sebelah, dan berusaha untuk pindah ke geng kami. Kurasa hal itu cukup menunjukkan sesengit apa hawa antar geng. Meski begitu, semua geng di kelasku sempat bersatu untuk melawan satu anggota kelasku ber-inisial E. Kenapa? Entahlah. Setelah kupikir-pikir lagi, aku tidak ingat alasan satupun yang cukup kuat untuk membuat seisi kelas (ditambah beberapa adik kelas yang ikut campur) membenci dia. Kecuali satu hari dimana dia memakai eyeliner hitam ke sekolah.
Perlu diingat drama seperti ini terjadi disaat kami berada di kelas 4 SD. Umurku saat itu 9 tahun. Sungguh, drama yang terjadi semasa aku berada di SD bisa disandingkan dengan sinetron-sinetron layar kaca.
Inti dari cerita itu, aku adalah manusia nge-gap. Kebiasaanku yang paling buruk adalah, aku selalu sudah tahu siapa saja yang akan kujadikan anggota dari gengku setiap kali aku berpindah ke suatu lingkungan baru.
Tapi kali ini berbeda. Di X-J, aku merasa mati kutu. Padahal, aku berasal dari SMP yang 90% muridnya masuk ke SMA ku ini. Jadi menurut teori peluang, seharusnya aku berpeluang untuk menjadi dominan di kelas ini. Nyatanya, aku terjebak berdua dengan Audrey. Seolah aku ditempatkan di posisi yang selama ini selalu kuhindari. Kau tahu kan bagaimana first impression itu mempengaruhi cara orang melihatmu? Aku jelas tidak mau dipandang sebagai seseorang yang hanya memiliki satu orang teman. Ditambah lagi, bagaimana kalau tiba-tiba Audrey sakit dan tidak masuk sekolah? Bisa-bisa sendirianlah diriku. Tapi, aku harus bagaimana?
"Luis," suara itu diikuti dengan tepukan ringan di pundakku, menyadarkanku dari lamunanku. "Kayanya di bangku paling depan sana ada sepupunya sepupuku, deh."
Ternyata Audrey. Bodohnya aku, jelas saja Audrey. Temanku kan cuma dia.
"Siapa?" tanyaku.
"Siella," jawabnya. "Sepupunya si Michelle, sepupuku,"
Raut wajahku yang bingung itu terbaca olehnya. Ia pun langsung menjelaskan, "Dia kemarin nggak ikut orientasi."
"Oh, pantas."

YOU ARE READING
Dasar Aku
Literatura KobiecaHalo, kamu. Cerita ini berisi: 85% kisah nyata, 5% khayalan, 5% peristiwa yang disamarkan, dan 5% lagi hal-hal yang kuinginkan untuk terjadi di kehidupan yang sebenarnya. Selamat datang di Dasar Aku.