Chapter 2

588 44 0
                                    

Semoga kalian suka...

"Sebuah kebetulan terjadi karena ada alasannya."

***

Unedited

Dengan tergesa-gesa Melisa berjalan meninggalkan restoran tersebut. Sebuah senyuman lemah tersungging di bibir merahnya. Senyumannya itu membuat hati orang yang melihatnya ikut bersedih. Tanpa ia sadari, matanya mulai mengabur dan berkaca-kaca. Air mata pun perlahan demi perlahan mulai mengalir membasahi wajahnya.

"Bodoh banget kamu, Mel. Bisa-bisanya kamu berpikir bahwa ajakan Rafa ini sebuah kencan?" batin Melisa mengutuk dirinya dalam hati.

Melisa menyalahkan dirinya karena terlalu berharap lebih pada lelaki itu. Semestinya dia paham dan sadar bahwa Rafael takkan pernah mencintainya. Dia tahu betul bahwa sosok seorang wanita sudah tertancap layaknya batu yang tak bisa dipindahkan dalam hati pria itu.

Wanita yang sampai sekarang begitu dicemburui Melisa. Hatinya tak bisa berbohong. Dia merasa iri pada wanita itu. Ya, baru kali ini dia  merasakan apa itu namanya "iri". Ironisnya, ia merasa iri terhadap perempuan yang tak dikenalnya.

Melisa ingin melihat apa yang dimiliki perempuan itu dan tidak dimilikinya. Kenapa Rafael tak bisa melupakan wanita itu? Apa yang membuat Rafael jatuh cinta dengannya? Apa karena wanita tersebut lebih cantik dan kaya dari dirinya? Tapi kenapa mereka tak lagi bersama? Kenapa Rafael tak bisa mencoba membuka hatinya untuk wanita lain? Atau apakah usahanya terlalu kurang hingga lelaki itu masih tak bisa melihatnya? Lantas harus bagaimana ia membuat Rafa melihatnya?

Bagi Melisa yang sedari kecil memiliki segalanya, semua yang ia inginkan akan ia dapatkan. Bukannya sombong. Tapi kenyataanya memang begitu. Sedari dulu orang tuanya selalu menuruti semua keinginannya. Hal itu membuat Melisa menjadi sosok wanita yang manja. Meski begitu, dia hanya menunjukan sifatnya manjanya pada keluarganya saja.

Begitu keluar dari restoran tersebut dan tanpa melihat orang-orang yang ada disekitarnya, Melisa mulai mempercepat langkah kakinya.

Zak yang sedang berjalan menuju restoran tersebut bersama dengan seorang lelaki berbadan tegap dan tampan, tiba-tiba menyipitkan matanya saat dari sudut matanya ia menangkap sosok perempuan yang sudah tertanam lekat di hatinya.

Tanpa menjelaskan sedikit pun tentang apa yang akan ia lakukan, Zak pun meninggalkan Damian, sepupunya yang kemarin baru kembali dari Amerika.

"Zak, elo mau kemana?" teriak Damian kebingungan, tidak mengejar Zak.

Menghiraukan panggilan Damian, Zak mengejar Melisa setengah berlari. Ketika jarak mereka semakin dekat, Zak menyadari bahwa pundak wanita itu bergetar. Tahu ada yang salah, tangannya refleks memegang lengan Melisa hingga membuat wanita itu berhenti.

Melisa terperanjat ketika lengannya tiba-tiba dipegang seseorang. Kesal, ia pun berbalik. Ingin melihat siapa yang sudah berani menyentuh dan menghentikannya.

"Zakari?" ujarnya tak percaya.

"Kamu nangis?" tanya Zak ketika melihat mata wanita yang ada di hadapannya kini. Ia tak menyadari keterkejutan yang terlihat di wajah Melisa.

"Siapa yang membuatmu seperti ini, Mel? Bilang sama aku!" Zak mengucapkannya dengan nada tidak suka. Ia mengatup rahangnya ketika melihat pipi basah Melisa.

"Lepasin, Zak. Sakit."

Saat Zakari bertanya, tanpa sadar ia mengenggam lengan Melisa terlalu erat hingga membuat wanita itu kesakitan.

"Maaf," ujarnya dengan cepat melepaskan tangannya.

Melisa menghembuskan nafas berat kemudian tersenyum lemah ke arah Zak. "Mataku kelilipan aja, Zak. Gak ada yang buat aku nangis." kilah Melisa berbohong.

Zak menatap Melisa lekat. Tatapannya menyebabkan Melisa memalingkan wajahnya, takut ketahuan sudah berbohong. Tak berapa lama, Desahan lemah pun terdengar dari mulut Zakari.

"Aku percaya, Mel." gumamnya lembut mengusap sisa air mata dari pipi Melisa.

Dia tahu Melisa sudah berbohong. Namun ia juga tak ingin berdebat dengan Melisa soal hal itu. Ini bukan urusannya. Ia tak mau Melisa menganggapnya orang yang suka ikut campur.

"Biar aku antar pulang kamu, Mel." katanya menawarkan diri.

Sebelum Melisa membalas ucapan Zakari, tiba-tiba seorang pria menghampiri mereka.

"Zak," ucap Damian sudah berdiri di samping Zakari. "Ini siapa, Zak? Pacar kamu?" tanya Damian memandangi Melisa dengan tatapan penasaran.

"Bukan." bantah Melisa cepat. "Aku bukan pacar Zakari. Temannya."

"Oh.. Aku pikir pacarnya, Zak. Maaf."

"Gak pa-pa." Melisa tersenyum simpul. "Melisa." tambahnya memperkenalkan dirinya sembari mengulurkan tangannya.

"Damian. Sepupu, Zakari." balas Damian menjabat tangan Melisa.

"Dam, elo masuk duluan. Gue mau nganterin Melisa pulang dulu." suruh Zak mengusir sepupunya.

Dari tatapan yang diberikan sepupunya pada Melisa, Damian sedikit menangkap bahwa hubungan mereka bukan hanya sekedar teman biasa. Namun, itu hanya dugaannya saja.

"Oke, bro. Gue masuk dulu." balasnya mengerti lantas mengangguk kecil pada Melisa.

Setelah Damian pergi, Melisa menatap Zak aneh.

"Mana kunci mobil kamu. Biar aku anterin pulang."

"Gak usah. Aku bisa sendiri." tolak Melisa cepat.

"Gak pa-pa. Sini, biar aku anterin aja."

"Mel..." Zak menyebut nama wanita itu dengan suara rendah yang berarti ia tak ingin lagi mendengar kata penolakan keluar dari bibir Melisa.

Tak ingin berlama-lama berada di tempat itu, mau tak mau, Melisa pun setuju. "Fine." dia merogoh clutch bag-nya lantas memberikan kunci mobilnya pada Zak dan berbalik lagi, kembali berjalan ke arah mobilnya terparkir.

Dengan senyum kecil terlukis di wajahnya, Zakari mengikuti Melisa dari belakang. Setelah menemukan mobil Melisa, dia menyalakan mesin mobil kemudian tancap gas meninggalkan restoran tersebut.

Di dalam mobil, Zakari tak sengaja menyalakan siaran radio yang sedang memutar lagu Pupus dari Dewa. Sialnya, lagu tersebut kini akan memasuki bagian refrainya.

"Sialan. Kok kebetulan banget?" batinya mengumpat.

Baru kusadari 
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk sluruh hatiku

Semoga aku akan memahami 
Sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban 
Hingga akhirnya kaupun mau

Saat Reff-nya terdengar memenuhi seluruh penjuru mobil, Zak meringis. Hatinya ikut tertohok merasa pedih dengan kata-kata yang tersirat dari lirik lagu yang dibawakan Once itu.

Diam-diam, Zak melirik Melisa yang sedang duduk di sampingnya. Wanita itu kini tengah sibukbmemandang keluar jendela. Dia tak sadar bahwa ada seorang lelaki yang sedang memandanginya dengan tatapan penuh harap.

Aku mencintaimu 
Lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu

Zak menepuk-nepuk dadanya pelan, mencoba menghilangkan rasa sakit yang ada di hatinya. Lirik lagunya sama persis dengan apa yang dialaminya sekarang.

Bukan hanya yang Zak bergelut dengan pikiran dan perasaannya, Melisa juga demikian. Begitu lantunan lagu tersebut terputar, ia rasa-rasanya  ingin menangis dan berteriak.

F*cking shit!!!

***

Budayakan menekan bintang sebagai apresiasi kalian terhadap penulis.
Mohon dikoreksi kalau ada yang salah dalam penulisan.

Pilihan MelisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang