07\\About Kiss

549 98 19
                                    

▪︎▪︎▪︎

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

▪︎▪︎▪︎

TANGANNYA MEMASUKKAN cat minyak dan menjejerkan dengan rapi dalam tas. Malam musim dingin membuatnya menggigil pelan, mantelnya masih terasa membeku. Penghangat ruang seakan tiada gunanya, sebab mereka yang telah berbalut tebal--entah dalam balutan selimut atau mantel. Mengeratkan apapun yang mampu mereka jangkau.

Setelah menyelesaikan sesi membereskan berbagai benda. Jisung berjongkok di hadapan Seungmin. Memperhatikan sudut wajah pemuda tatkala terlelap. Hidungnya memerah karena dingin, telinganya juga. Kedua belah bibir terbuka sedikit, Jisung dapat mendengar deruh napas lewatnya. Jemarinya menyapu pelan puncak kepala Seungmin. Membiarkan para helai kayu memberi kelembutan sejenak.

Belaiannya singkat sebab selanjutnya Jisung mengangkat tangannya kebas. Dengungan bertambah kencang. Senyap ruang tak dirasakan. Hanya terasa bunyi dengung yang terus menurus menusuk otaknya. Jisung mengerang tertahan memegangi kepalanya dengan harapan semoga cepat selesai. Manjambak rambutnya kuat, tetapi kesakitannya tak dapat menyaingi rasa otaknya yang tertusuk-tusuk. Ia bernapas seakan tiada oksigen di dunia ini. Seraya mengerang tertahan agar tak membangunkan Seungmin, para saliva menetes. Seungmin yang berada di depan seakan mengganda.

Rasa sakit itu memenjarakan dalam derita selama beberapa menit, membiarkan tubuhnya meliuk sana-sini. Sampai pada akhir sakit kepala selesai. Jisung mengelap dagu dengan ujung lengan baju. Napasnya memburu. Setiap napas adalah keberuntungan. Karena ia belum tumbang, sebelum ia benar-benar tumbang, ia harus pergi. Menjauh sebelum bertambah seseorang yang akan mengalir hujan lewat jendela dunia. Demi dirinya. Dirinya tak lebih dari bintang bermagnitudo enam. Redup. Kehilangan harapan hidup.

Seakan individu yang jatuh berulang kali. Wajah Jisung memucat. Pemikiran bahwa sang pencabut nyawa akan datang menghampiri tak kunjung hilang. Tubuhnya kebas namun gemetar di saat yang bersamaan. Dengan sisa usahanya ia menulis surat. Barangkali ini kejam, tetapi ia berharap Seungmin akan mencarinya. Itupun, jikalau Seungmin berhasil menemui makna di balik segala aksara yang tengah dirangkai. Setelahnya, ia menaruh catatan kecil serta "Gugusan Bintang" di samping kasur Seungmin, setelah usaha menyeret kaki berulang kali sebab tenaganya telah menguap karena serangan sakit kepala.

Jisung masihlah dirinya, yang selalu terpana dengan segala cahaya baskara. Menginginkan detik-detik hangat menyelimuti tubuh. Dinginnya lantai laminasi menusuknya telapak kakinya. Kekuatannya perlahan menyeruak kembali. Oksigen tak lagi menyesakkan. Lagi, ia mengulang kegiatannya. Memperhatikan pemuda Kim yang tengah terlelap dengan bahagia. Kapan Jisung mampu menatapi Seungmin seenaknya jikalau bukan sekarang?

Seungmin menunjukkan raut tak nyaman tatkala jemari menyentuh pahatan pipi berisinya. Samar-samar Jisung dapat mendengar kata "dingin" terucap sayup. Ia menghentikan pergerakkan jemarinya. Tak ingin menyakitinya lebih lanjut, walau tak dipungkiri kehangatan menyebar cepat tatkala ia menyentuh. Ditaruhnya tangan di depan Seungmin, merasakan kehangatan napasnya. Tanpa Jisung sadari, ia sedang menunjukkan senyuman terhangat dan terlebar yang ingin Seungmin lihat.

Sesi menatap seakan menjerat diri. Lambat laun bukan telapak Jisung yang merasakan deru napas Seungmin, melainkan napas mereka saling menerpa satu sama lain. Hendaknya Jisung mendorong diri membiarkan kedua belah bibir terpaut sejenak.

Ia berhenti.

Bagaimana jikalau Seungmin terbangun berkat pagutan bibir sesaat? Mulai, Jisung menjauhkan diri, ia duduk di samping kasur. Masih dengan dirinya yang terlena. Masih dengan dorongan akan diri untuk merasakan. Masih dengan segala hal yang menyatakan bahwa ia redup, Seungmin membutuhkan sosok yang sama dengannya. Sebuah baskara, bukan dengan asterit kecil sepertinya.

"Seungmin-ah. Kamu mungkin enggak bisa mendengar suaraku ya, sekarang. Karena kamu enggak bisa mendengarlah makanya aku punya keberanian untuk berkata." Kegugupan sedikit melandanya. Jisung menelan saliva gelisah. Beberapa detik keheningan berlalu, sebab lidah kelu tuk berujar. Barangkali seorang Jisung terlampaui pengecut untuk berkata, bahkan kepada sosok yang kini terlelap.

"Saat kamu menjawab bahwa kamu lebih memilih bintang daripada matahari. Di detik itu pula, hatiku menghangat. Kamu berkata seakan kamu memilihku bukan bintanglah yang kamu pilih. Kurasa itu hanya angan-anganku, tetapi ... aku senang sekali." Jemarinya menulusuri telapak tangan Seungmin. Hangat tatkala Jisung menelusup dan menggenggamnya. Syukurlah, Seungmin tak terlihat terganggu.

"Seungmin-ah, kamu ingat pertama kali kita bertemu dan kamu langsung menawari tempat tinggal? Saat itu aku langsung berpikir; 'Ternyata, masih ada orang sebaik ini'. Seakan itu enggak cukup, kamu memintaku tuk tinggal bersamamu. Karena kamu kesepian dan menganggap pertemuan kita ini takdir. Hal yang pertama terlintas di benakku cukup; 'Bagaimana bisa orang sepolos ini masih sanggup bertahan di dunia ini?'."

Ia menarik tangan Seungmin. Memberi sentuhan berupa kecupan pelan pada telapak tangan.

"Masih ingatkah kau, hari di mana kita hendak pergi melihat senja dan cara kau menatapku seakan bintang terindah? Dan aku segera meninggalkanmu, membiarkanmu mengejarku. Kala itu, aku bukannya marah. Melainkan aku takut. Andai kata jika kau benar-benar menyukaiku, sanggupkah kau melepaskanku?"

Setiap kata yang terlontar ibarat sendu yang mampu membuat hatinya perih. "Seungmin-ah, aku enggak bisa. Kalau pada akhirnya hati kita ditakdirkan bersatu. Aku enggak bisa bersamamu, selamanya. Maafkan diriku yang pengecut ini. Tetapi jika hati kita tidak ditakdirkan bersatu. Aku malah tambah menginginkanmu. Oleh sebab itu, sebelum aku mengetahui perasaanmu. Lebih baik aku pergi. Karena aku tidak mampu melepaskanmu."

Ditutupnya netra perlahan. Setitik bening turun membasahi jemarinya. Saat ia membuka kembali jendela dunia, para bening mulai mengerumuni pelupuk.

"Biarkanlah diriku hidup di angan-angan bahwa kau memiliki perasaan yang sama denganku." Jisung meletakkan tangan Seungmin pada tempat semula. Ia bangkit, mencondongkan tubuh, mendekati wajah Seungmin. Beberapa bening menetes pada pipi Seungmin. Ia terlihat terganggu sejenak, jemari Jisung mengusap pelan. Membersihkan jejaknya.

"Aku mencintaimu, matahariku."

Sebuah kecupan dingin pada kening mengakhiri segalanya. Dan Jisung pun pergi.

.

.

.

Night of Sixth Magnitude Star ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang