13\\About Tape

493 83 5
                                    

▪︎▪︎▪︎

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

▪︎▪︎▪︎

"OKE SATU, dua, tiga. Aku mulai ya."

Hyunjin mengatur ketinggian tripod agar cocok dengan posisi Jisung. Ia berusaha duduk walau lemah, kasur disetel Hyunjin sehingga ia dapat duduk dengan nyaman, walau tak senyaman dulu pastinya. Jisung mengamati sekitar, kamar yang telah ia naungi selama sebulan--mungkin lebih, entahlah Jisung tak ingat kapan tepatnya ia masuk. Yang ia tahu hanyalah waktu berlalu, detik-detik menghampiri, tubuhnya semakin lemah--lemah sekali, beberapa kali ia berusaha makan dengan kedua tangannya sendiri dan selalu berakhir piring jatuh menumpahkan segala isinya, ini membuatnya sadar; tangannya takkan mampu memegang kuas lagi--dan semakin kurus sekarang berupa tulang berbalutan kulit yang menunggu ajal datang menumpaskan. Hatinya mencelos tatkala memikirkannya, lukisan terakhirnya "My Sunshine--Matahariku" hanya butuh sentuhan terakhir, seharusnya ia telah menyelesaikannya sebelum ia menanjak ke ruang putih ini--namun, lagi-lagi serangan panik membawanya kali ini diiringi lontaran dokter yang berujar, "Ia takkan bertahan lama lagi"--dan napas Jisung tersekat mendengarnya, melupakan cara menarik oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida seketika. Ia tahu ini akan terjadi. Ia mengetahuinya. Dan ia mengira ia telah menerimanya. Sekarang sekon-sekon berlalu takkan mampu berhenti dan ia terhenyak tatkala mengetahui kematian semakin dekat. Ketakutan menguasainya. Benar kata Hyunjin, ia tak siap pergi. Ia masih ingin bersama ibu: menikmati setiap belai kasih sayangnya. Ia masih ingin bersama Hyunjin: sahabat seperjuangnya, mereka telah melewati masa-masa kesulitan bersama--walau pada akhirnya Jisung melarikan diri, tetapi kini ia tak tega membiarkan Hyunjin menanggung beban yang sama. Ia masih ingin bertemu Seungmin: berujar bahwa ia baik-baik saja dan takkan pernah meninggalkannya lagi.

Dan itu takkan pernah terjadi. Terimalah kenyataan Lee Jisung, kau akan mati. Jisung menggigit bibirnya menahan erangan frustasi penuh maaf.

"Eomma, ini anakmu Jisung-ah." Ia berusaha tersenyum lembut, menunjukkan kepada ibunya bahwa ia baik-baik saja. Hatinya seakan disobek-sobek tatkala memikirkan reaksi ibunya melihat dirinya di layar, telah pergi meninggalkan beliau.

"Eomma pada saat kecil pernah memberitahuku dan Felix, 'Jangan pernah membiarkan yang berambut putih mengantarkan yang berambut hitam pergi', lalu memeluk kami." Jisung berusaha menatap ke arah kamera, menyembunyikan isak tangis yang tengah menghampiri, netranya berbening--sebentar lagi akan menetes, membasahi pipinya lalu bergulir hingga titik ia takkan mampu meluncur lagi.

"Maafkan kami berdua tak mampu menepatinya, kini Eomma harus mengantarkan kepergianku sama seperti mengantar kepergian Felix." Jisung tak mampu menahannya tubuhnya seakan ditumpah asam, nyeri menguasainya--bening pun meleleh.

"Eo-eomma, maafkan anakmu yang durhaka ini." Pada akhir Jisung terisak, ia gagal memperlihatkan kepada ibunya. Memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Memperlihatkan bahwa ia mampu menerima kematian dengan baik. Ia tidak. Bagaimana nasib ibunya nanti tatkala ia tak ada? Apakah ibu akan banting tulang bekerja sana-sini? Apakah ibu akan makan dengan benar? Segala pertanyaan apa yang akan terjadi pada sang ibu kelak membuat Jisung semakin tak tega. Apakah ia benar-benar harus pergi?

Seketika ia ingat, pernah sekali ia meninggalkan ibu sendiri melawan kesepian. Selama setengah tahun, tanpa kabar. Barangkali jikalau Jisung meninggal saat itu pun beliau takkan tahu. Tiada jejak yang Jisung taruh untuk beliau cari, seakan serbuk bintang dihempas angin keji, berhambur tak menyisakan apa pun. Jisung ingat Hyunjin berkata jikalau sang ibu demi dirinya--si durhaka, menyebar brosur atas hilangnya dirinya tatkala musim panas--waktu di mana ia pergi. Beberapa kali jatuh pingsan, dan hati Jisung seakan dibelah berulang kali. Segalanya yang beliau lakukan hanya demi dirinya. Dirinya. Jisung tahu mengapa sang ibu tak melapornya kepada pihak kepolisian, karena ia yakin Jisung takkan pernah suka dipaksa. Hyunjin juga berujar bahwa ibu sering ke pemahkaman Felix dan memeluk nisan seraya menangis pilu di dalam keheningan.

Hal pertama yang ibu lakukan tatkala Jisung sampai rumah adalah menamparnya. Satu tamparan itu tak sesakit yang Jisung duga. Di detik itulah Jisung sadar. Ibunya tak lagi muda. Kulitnya tak sekencang dulu. Putih mulai memenuhi kepalanya. Jisung pun jauh lebih tinggi dibandingkan beliau. Ibunya tak sekokoh dulu lagi, kini beliau serupa kaca rapuh yang akan hancur apabila terjatuh. Setelah menamparnya ibu menangis, memeluk Jisung dengan erat, erat sekali.

Kini Jisung teringat kali pertama ia divonis tumor otak.

"Eomma ... aku tidak ingin mengikuti perawatan."

"Kenapa Jisung-ah?" Ibu menatap Jisung tak percaya. Kecewa terpapar jelas lewat kedua netra tua tersebut.

"Felix kesepian, aku tak bisa lagi membiarkannya seorang diri."

"Kalau begitu, Eomma bagaimana Jisung-ah?"

Dan Jisung hanya membalas sang ibu yang hampir menangis dengan senyum tipis. Keesokan harinya, ia pergi dari rumah.

Jisung meneguk ludah berulang kali--berusaha tidak memekik, menyembunyikan wajahnya ke selimut. "Sekali lagi Eomma, Jisung minta maaf."

.

.

.

"Kali ini untuk adikku, separuh jiwaku." Ia tersenyum kikuk. "Aku tahu kau takkan mendengarnya Felix, tetapi ini untukmu dari Hyung terpayah sedunia." Netra Jisung sudah tak merah--mengingat tadi ia menangis parah sekali.

"Felix, kau ingat apa yang kita lakukan dulu bersama? Dulu waktu kita masih kecil, rasa penasaran kita terhadap dunia ini besar sekali. Kita selalu bertanya 'Mengapa kita tak punya Appa sedangkan anak-anak lain ada?'. Kita selalu iri dengan anak yang sedang bermain dengan Appa-nya di taman, sedangkan kita hanya berdua. Eomma pun tak bisa menemani kita sepanjang waktu, beliau butuh bekerja agar kita bisa mandapatkan makanan yang layak, agar kita memiliki baju bersih untuk diganti, agar kita hidup dengan layak. Pernah kita bertanya perkara Appa terhadap Eomma dan Eomma hanya mampu memeluk kita seraya menangis, meminta maaf karena tidak mampu memberikan keluarga yang utuh." Kalimat selanjutnya Jisung benar-benar ingin menahannya, karena ia tahu Felix akan sedih tatkala mendengarnya. Tetapi, ia tetap harus ucapkan.

"Felix, inilah cara kita membalas Eomma. Eomma yang selalu menahan segalanya sendiri, bertingkah layaknya beliau tak butuh siapa pun untuk melindungi kita--cukup beliau sendiri. Eomma yang selalu menangis pada malam hari setelah menidurkan kita. Eomma yang selalu berujar beliau tak lapar dan selalu memberikan kita porsi makanan terbanyak, padahal perutnya berbunyi saat itu--haha." Ia berusaha tertawa, tawa aneh karena ini membuatnya tambah ingin melebur satu bersama bening.

"Kita membalas dengan pergi terlebih dahulu. Durhaka sekali."

Jisung memberi tanda kepada Hyunjin untuk menghentikan rekaman. Lalu mengangguk untuk rekaman selanjutnya.

"Enggak mau istirahat dulu?" Hyunjin bertanya.

"Sekarang saja. Karena aku enggak yakin masih ada kesempatan." Hyunjin menjengit, kemudian ia kembali tenang.

"Untuk siapa?"

"Yang terakhir untuk Seungmin-ah, matahari yang telah kutinggalkan."

.

.

.

Night of Sixth Magnitude Star ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang