PROLOGUE

460 43 37
                                    

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Cinta merupakan kombinasi segala yang dirasakan seseorang. Kata-kata itu tiba-tiba terbersit ketika memandang langit-langit kamar dan merasakan tetesan keringat yang jatuh tepat di permukaan wajahnya, beserta suara napas terengah-engah memenuhi pendengaran.

Penyebabnya hingga terjaring sampai ke sini dikarenakan oleh seorang pria—um, lebih tepat disebut sahabat sedari kecil yang berhasil mencuri hatinya, bahkan melucuti rajutan benang yang menyembunyikan bagian krusial tubuhnya.

Yang jelas, malam ini pandangannya berkabut, serta hasrat yang tumpah ruah dari dua kepala yang sama-sama mencapai babak final setelah teriakan terakhir hingga sekarang memilih bungkam.

Ya, mereka terlanjur basah. Terjerumus dalam kubangan gelora dan mustahil untuk mendaki ke atas sebab telah terjerembab. Logika mereka terseret seiring peluh dan aroma yang saling bercampur dalam bilik yang tak terencanakan sebelumnya.

Tidak ada yang mabuk. Mereka sama-sama berada pada kesadaran penuh, walau tercampur emosi sekaligus kuriositas dalam intensitas tinggi.

Pihak wanita agaknya lebih mendominasi, mengikuti naluri dan tidak membiarkan si pria lepas darinya. Sedangkan sang pria, terlanjur terasuki iblis dan tak dapat menolak keinginannya.

Mungkin beberapa jam Ryuka dapat terpejam di sisa-sisa malam sebelum menjemput pagi. Merasa puas dan lepas tanpa ada perasaan menyesal setelah melakukannya, meski merasakan tubuhnya yang seakan remuk.

"Ryuka, segera bersihkan tubuhmu, atau kau butuh bantuan?" Suara rendah dan sedikit serak itu menyapa rungu.

Kepalanya digerakkan menyamping, menatap tubuh tegap yang sudah bersih pun tampan seperti biasa. Berbanding terbalik dengan tubuh kecilnya yang masih senantiasa bersembunyi di balik selimut. Sempat terbersit untuk beberapa sekon dalam pikirannya, bahwa Jeon Jungkook—pria yang membuatnya nyaris gila karena jatuh cinta—tidak mempunyai kesan sama sekali setelah malam panjang yang mereka arungi. Sebab dia tidak tersenyum hangat seperti biasanya, justru terlihat kaku.

Ryuka menunduk, dengan perasaan putus harapan atas dugaannya. Tidak, dia tetap harus optimis.

Menarik napas panjang, segera berucap, "Jeon, katakan padaku jika kau mencintaiku." Ada kepekatan yang menyelubungi dengan spekulasi yang terlampau menyeramkan berkembang dalam otaknya.

Jungkook terkesiap. Berusaha tersenyum, walau itu terkesan kaku. Ini untuk pertama kalinya, dan terasa agak mengerikan dan gentar untuk melempar jawaban. Ini perihal yang sangat sensitif.

"Jeon." Panggilnya kemudian. Tidak membiarkan perasaan aneh dalam benaknya terus-menerus berkembang.

"Ak—Aku ... iya, aku menyukaimu."

Terdengar terpaksa sekali.

Ryuka benci ini. Dia cukup menyesal telah melayangkan pertanyaan demikian, terlebih dia benci dengan Jungkook yang mungkin hanya menjadikannya objek eskapisme dari mantan kekasihnya.

Ada seringai tipis yang terbentuk di bibirnya yang merah, dengan sedikit lecet di sana. "Kenapa? Kenapa kau terlihat seperti terpaksa begitu? Kau bahkan tidak menunjukkan sedikit saja penolakan ketika kuberikan cinta. Cintaku ini tidak bertepuk sebelah tangan, 'kan?"

Sekejap menganga. Menggeleng dengan segera. "Ryuka, cepat bersihkan tubuhmu, kita harus berangkat ke sekolah. Kau tidak ingin dihukum Pak Kwon, bukan?"

Ryuka menarik konklusi perlahan bahwa Jungkook mungkin hanya kasihan padanya karena sudah terlanjur.

Gadis itu berusaha tenang. Menahan jeritan yang membumbung dari kerongkongan. Kukunya yang agak panjang, dijadikan sasaran pada kulit pahanya sehingga perih mengiris di sana. "Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan, Jeon Jungkook."

Si pria beringsut, bermaksud untuk menenangkan . Tangannya menggenggam jemari mungil agar total terlingkupi. Sebelah tangannya diangkat untuk menyangga tubuh yang terlanjur lunglai. "Bisakah kita tidak membahas itu sekarang?"

Pandangannya lurus, rasanya-rasanya ingin melubangi isi kepala Jungkook karena tidak terima dengan perkataannya yang terdengar seperti omong kosong untuk berkelit dari kenyataan.

Matanya dipejamkan untuk beberapa saat, bahunya masih merasakan usapan ringan dari jemari panjang itu. "Apa kau masih mencintai Dahye atas semua yang sudah kuberikan padamu?"

"Ryuka, tolong hentikan ini." Mengganjal dalam hati, kacau dalam pikiran, semuanya berkonspriasi sehingga membuatnya terporak-poranda yang berujung dengan rasa bersalah yang merambat dengan cepat.

"Siapa yang sebenarnya kau cintai? Aku atau dia?" Gadis itu berupaya menepis tangan yang bertengger di pundaknya. Dalam hatinya mulai terasa lubang kejanggalan yang cukup curam.

Jungkook menunduk, tak berani menatap obsidian yang tengah berkaca-kaca. Bibirnya terkatup rapat, tidak sanggup untuk melontarkan satu kata pun.

"Jawab aku, Jeon Jungkook! Jangan hanya diam seperti ini!" Tidak dapat menahannya lebih lagi, jadinya mendadak histeris.

"Aku—"

"Aku, apa?"

"Aku bingung."

Bagaikan mug rapuh yang jatuh dari atas meja kerja hingga pecah berkeping-keping. Begitulah bentuk hatinya.

Pria bertubuh kekar itu lekas bangkit tanpa berani memandangi wanita yang sedang syok. Langkah kecilnya meninggalkan kamar tanpa menjawab pertanyaan krusial yang sanggup menimbulkan tanya sekaligus rasa takut yang terlampau besar.

Suara pintu yang tertutup pelan, beserta punggung tegap yang menghilang, menimbulkan premis samar.

Jung mungkin tidak mencintaiku.

IndecisiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang