beautiful feeling

558 123 17
                                    


Saya mengetuk-ngetuk meja didepan saya, memecah keheningan yang saya ciptakan sendiri. Pikiran saya berkecamuk, memutar kembali kejadian seminggu yang lalu saat Anan mengantarkan saya pulang. Saat saya memarahinya entah karena apa. Disaat dia sudah berbaik hati mengantarkan saya dan membelikan air mineral, ibuprofen, roti, bahkan pembalut. Saya dengan kurang ajarnya malah membentaknya, mengatakan padanya bahwa kami tidak akan lagi bertemu karena saya tidak akan lagi menonton Enam Hari.

Bodoh. Tidak mungkin saya tidak lagi menonton Enam Hari. Saya menyukai mereka bukannya sekedar ikut-ikutan, saya menyukai mereka karena memang benar-benar dari hati saya. Tanpa paksaan. Bagaimana bisa saya melontarkan pernyataan seperti itu?

Dan lagi, setelah saya baca di instagram Enam Hari, mereka akan rehat sekitar 3 bulan. Waktu yang sangat lama untuk bertemu Anan lagi.

Kalau kalian berpikir saya merindukan dia, kalian salah. Saya hanya ingin meminta maaf. Saya bukan tipe orang yang mau menganggu hubungan orang. Dia milik Yejira, kalau kalian lupa.

Satu-satunya cara agar saya bisa bertemu Anan lagi adalah konser Enam Hari. Tapi, bagaimana bisa, 3 bulan? Bukankah sudah terlalu basi? Bukankah jika nanti bertemu setelah 3 bulan, kecanggungan akan menyelimuti kami? Oh, bahkan jika Anan bersikap seolah tidak mengenal saya, saya tidak akan heran.

Tapi akankah berakhir sampai disini? Setidaknya saya ingin berteman dengan dia. Dia orang yang baik.

"Heh!"

Saya refleks mengumpat, lalu sedetik kemudian meminta ampun kepada Tuhan. "Apasih, Li?!" tanya saya galak. Saya ini termasuk golongan orang berjantung lemah, mudah terkejut dan akan mengeluarkan kata-kata tidak sopan saat dikejutkan. Mood saya juga akan rusak seharian karena dikejutkan seperti itu.

"Bengong aja lo. Mikirin apa sih? Azel?" tanya Lia bertubi-tubi lalu duduk dihadapan saya. Saya melirik Lia, lalu mengangguk jujur.

Saya memperhatikan sekitar, memastikan kelas saya benar-benar kosong lalu menjelaskan maksud anggukan saya kepada Lia. "Seminggu yang lalu dia nganterin gue pulang."

"Terus? Lo baper?"

"Diem dulu kenapa sih!"

Lia menunjukkan cengiran khasnya. "Iya ampun, nyai. Lanjut."

Saya menghela napas, lalu mulai melanjutkan bercerita. "Gue marah sama dia. Bodoh kan?"

"Keknya gue gak perlu jawab deh. Lo tau sendiri kalo bodoh lo itu udah keterlaluan. Kenapa sih?"

"Waktu itu Yeji nelpon dia, tapi dia malah nganterin gue pulang. Bajingan gak sih? Gue kesel. Mana lagi dapet, gue bilang gue gak mau ketemu dia lagi." jelas saya.

Lia tampak diam sesaat lalu mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke saya. "Nih, instagram Anan. Lo dm, ajak ketemuan. "



👩👨




Saya melirik ke dalam cafe beberapa kali. Memastikan bahwa laki-laki yang sedang duduk bersandar ditengah cafe itu benar-benar Anandra. Kepalanya tertunduk dengan jemari yang tampak memainkan ponselnya. Kepalanya menoleh ke segala arah, sampai akhirnya mata kecoklatan itu bertemu dengan mata saya.

Dia tersenyum, melambaikan tangannya menyapa. Hati saya menghangat, namun disatu sisi menguatkan diri sendiri untuk tidak jatuh pada senyum teduhnya itu. Saya menghela napas pelan lalu mendorong pintu cafe dan masuk ke dalam.

Aroma kopi menyeruak menyerang indra penciuman saya. Saya berjalan kecil menghampiri Anan yang masih betah menyunggingkan senyumnya.

"Udah lama?" tanya saya basa-basi.

Anan menggeleng membuat rambut lurusnya yang menutupi hampir seluruh dahinya itu ikut bergerak-gerak lucu.

"Aku minta maaf ya, Anan. Gak tahu diri banget marah-marah ke kamu." ucap saya to the point. Kepala saya tertunduk sebentar, namun segera saya angkat untuk melihat reaksi Anan.

Anan hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. "Gakpapa. Aku ngerti kamu gak bermaksud begitu."

Saya balas tersenyum, merasa lega. Dia masih tersenyum tanpa mengeluarkan suara. Nggak ada topik kali ya?

Aduh, tolong dong yang namanya Anandra ini jangan disuruh senyum terus. Sengaja ya bikin jantung saya mau copot?

"Kamu gak mesen?" tanya Anan membuat fokus saya kembali. Duh, hampir saja saya ketahuan memperhatikan dia.

Saya menggeleng. "Nggak usah. Aku mau langsung pulang aja."

"Kok cepet banget?"

Saya mengernyit. "Gak ada yang mau diomongin lagi kan?"

Raut wajahnya berubah. Bibirnya mengerucut kecil. "Yaudah."

"Anan?"

"Ayo, pulang."

"Kamu kenapa?" tanya saya heran.

Anan menatap saya, lalu menghela napas pelan seperti mengalah pada dirinya sendiri setelah sempat berdebat. "Kamu gak mau cerita how is your life seminggu kemarin, gitu?"

Disitu, jantung saya berdegup berkali-kali lebih cepat. Hanya perasaan saya saja atau Anan memang bertingkah seperti kekasih saya yang sudah lumayan lama tidak bertemu?

"Aku gak ada diposisi buat ngobrolin itu sama kamu kan?"

"Apa salahnya?"

"Kamu punya Yeji, Anan." jawab saya telak.

Anan tampak membulatkan matanya lalu menggeleng berkali-kali. "Kayaknya kamu salah paham."

Saya diam, menyuruh Anan melanjutkan kalimatnya. Dalam hati sudah berteriak kegiarangan. Jadi, saya selama ini salah paham? Jadi informasi dari Lia itu salah?

"Yeji itu tetangga aku, temen aku dari kecil. Dia punya pacar kok, Hyunjin namanya." jelas Anan singkat dan terkesan benar-benar ingin meyakinkan saya.

Saya boleh percaya diri gak sih?

"Jadi?" tanya saya sebagai respon. Saya tidak tahu harus merespon apa lagi. Saya hanya ingin pulang, masuk ke kamar lalu berguling-guling sambil memeluk guling saya.








"Kamu ngerti gak kalo arti dari pertanyaan tadi tuh aku kangen kamu?"


Nggak ngerti, Anan. Kepala saya mendadak kosong. Kaki saya udah gak menapak lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biar Saya Ceritakan | Kim SeungminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang