RAN
Gadis cantik berpawakan tinggi kurang lebih 162 cm dan berkulit putih yang membuat auranya bersinar serta rambut hitam danlurus dibiarkan tergerai memanjang hingga menambah kesan anggun. Wajahnya yang lonjong dan mata mirip boneka disertai hidung yang mancung terkesan lebih dewasa. Kebanyakan orang-orang menyebut dirinya “Ratu Valla”—karena selain kecantikan dalam fisiknya, dia juga pandai berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Siapapun yang mendekat padanya, orang itu akan merasa nyaman saat bercakap-cakap dengannya—tidak hanya itu, dia juga pandai dalam dunia bidangnya yang menjabat sebagai sekertaris di perusahaan Desain tempat dia bekerja. Katanya, dia dikabarkan bertunangan dengan pemilik perusahaan itu. Banyak yang memuji dirinya, orang-orang bilang—dia adalah selebritis yang tidak ada lengsernya disaat waktu memakannya di perusahaan tersebut.
Orang-orang selalu mengukir senyum saat bertemu dengannya, dan yang paling membuat orang-orang menyukainya adalah—dia seorang wanita yang kaya dunia dan kaya hati, dia adalah wanita baik dan murah senyum. Siapapun yang dilihatnya dia pasti tersenyum dan kadang juga menyapa. Senyumannya manis sekali, katanya—gingsul di giginya menambah kharisma yang dimilikinya. Tidak heran, jika pemilik perusahaan tersebut menerima dirinya sebagai sekertaris dan bahkan diangkat sebagai tunangannya. Setiap berita mengenai dirinya dan tunangannya selalu membuat orang-orang di sekitarnya penasaran—hasilnya, setiap gosip yang menyangkut dirinya selalu menjadi bahan omongan positif bagi orang-orang yang menyukainya, dan sebaliknya—orang-orang yang tidak suka padanya balik menggunjing bahkan menyebar fitnah tentangnya. Namun hal tersebut tidak membuat popularitasnya jatuh sedikit pun, karena dibandingkan dengan orang-orang yang tidak menyukainya—masih banyak ratusan bahkan ribuan orang yang mendukung hidup dan karirnya. Selebritis yang paling cantik di perusahaan itu, sebut saja namanya Vallancia Lukita Cynta—biasa dipaggil “Valla” atau “Ratu Valla”. Kehidupannya benar-benar membuat semua orang iri, dan nasibnya yang selalu beruntung di mata banyak orang—aku disini semakin penasaran dengan yang namanya Valla. Siapa sih dia? Dan apa yang lebih mengesankan darinya diluar semua yang dikatakan orang-orang itu? Apakah dia seorang ratu? Yang selalu memakai mahkota berlian di setiap dia melakukan aktivitasnya. Apakah dia selalu mengenakan gaun yang berselimut pernak-pernik cantik yang mengagumkan? Ataukah cara jalannya yang berlenggak-lenggok seperti model busana internasional sehingga semua orang menyebutnya selebritis? Setiap teman-temanku yang bekerja di perusahaan itu bercerita perihal dia, aku selalu membayangkan sosok ratu Elsa di film kartun Frozen. Apakah dia secantik itu?
Angin berhembus sesuai apa yang diinginkannya, meniup anggun pucuk rambut gimbalku karena belum di sisir tadi pagi. Pakaian basah yang sedari tadi tidak habis-habis di ember merah membuatku mengeluh lelah. Ya, pagi ini aku mencuci banyak sekali pakaian karena aku sudah hampir dua minggu tidak mencuci dikarenakan sibuk melamar pekerjaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Alhasil, tidak satu pun perusahaan yang aku kunjungi memanggilku. Yah, aku paham saat ini mungkin bukan rizeki—aku terus ngedumel dalam hati jika mengingat semua itu. Sampai aku heran, apakah semua perusahaan menyukai orang-orang cantik saja? Atau kaya raya mungkin? Atau yang memiliki etos kerja yang tinggi? Aku akui, aku tidak masuk dalam kriteria semua itu. Aku tidak cantik, mataku bulat seperti bola basket kata teman-teman, dan hidungku juga tidak semancung Ratu Elsa, aku juga kurus, dekil juga kata mantanku, pintar? Haha, waktu SMA aja aku hampir tidak naik kelas gara-gara terlalu banyak poin terlambat masuk sekolahku banyak, dibilang rajin malah jauh banget—seragam yang kukenakan tidak selalu rapi, sampai guru BP capek negur aku—dan yang paling tidak kusuka dari diriku sendiri adalah aku sama sekali tidak memiliki etos kerja tinggi seperti orang-orang yang ada di perusahaan yang setiap kukunjungi. Aku adalah wanita yang suka kebebasan, benci aturan—karena menurutku aturan itu membuat segalanya tidak bebas, selalu terikat pada aturan yang ada, aku lebih menyukai apa adanya dan paling benci sesuatu yang menonjol. Aku feminin, gayaku beda dari yang lainnya. Aku tidak jalang, tapi aku selalu memakai pakaian wanita yang menurutku imut kalau di dalam rumah—dan terkadang aku memakai pakaian sisa kemarin karena jujur aku adalah wanita pemalas. Aku adalah pengangum senja tapi sialnya aku tidak pernah punya waktu untuk melihatnya, aku lebih suka menulis puisi karena hanya itu bakatku. Namun sayangnya, di kota panas yaitu kota Bandung ini tidak memiliki lowongan kerja yang berkaitan dengan tulis menulis atau jurnalistik. Padahal aku sangat lihai dalam menari-nari jari di atas buku dan memencet cepat tombol qwerty di layar komputerku.
Akhirnya tanpa sadar semua pakaian sudah terjemur dengan rapi, aku menghela nafas berat—aku segera memasuki rumah dan melanjutkan memasak. Maklumilah dibalik sifat burukku, aku adalah wanita yang tidak suka menggantungkan orang lain alias mandiri—mandiriku muncul setelah orang tuaku meninggal enam tahun yang lalu saat aku masih berumur 15 tahun. Mereka meninggal karena kecelakaan, waktu itu mereka pergi mencari toko yang jual seragam sekolah. Aku mendesak mereka untuk segera dibelikan karena seragamku sudah berwarna kuning lusuh dan aku malu karena terus-terusan diejek teman-teman sekelasku.Padahal malam sudah sangat larut, orang tuaku dengan ikhlas pergi meninggalkanku sendirian dirumah karena aku tidak mau diajak mereka. Namun takdir menamparku, saat mereka sudah di perjalanan pulang—tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ayahku menyetir dengan sangat cepat, hingga pada akhirnya truk dari depan sama cepatnya akhirnya menabrak mobil yang dikendara orang tuaku, mobilnya mental ke belakang—baik ayah maupun ibuku mental keluar dan ketindihan mobil yang tadi dikendarai ayah. Berita tersebut sontak membuatku terpukul keras, hampir aku bunuh diri saat melihat kedua orang tua yang aku sayangi dibalut kain putih, bersih. Aku mencium kening mereka berdua, aku menyesal karena memaksa mereka agar dibelikan seragam. Untung ada tante Irma dan Om Toni yang menguatkanku, mereka bersedia mengurus hidupku baik sandang, pangan, dan papan. Hingga menjelang dewasa, seusai tamat SMA aku pamit merantau ke Jakarta—awalnya tante dan om tidak setuju, namun aku terus meyakinkan mereka agar mereka bisa mengizinkanku pergi ke kerasnya Bandung. Karena aku tidak ingin terus-terusan menggantung di kehidupannya tante dan om, aku tidak ingin mereka kerepotan mengurus aku ditambah ketiga anak-anaknya. Dan semakin lama aku tinggal dirumah Tante, aku semakin tidak bisa melupakan kesalahanku yang membuat ayah dan ibu meninggal.