CHY
“Bro, jadi gini,”
Aku menghela nafas panjang saat telepon genggam berdering cukup keras, cukup menggema kan seisi kantor HRD yang hanya dihuni dua manusia—well, hanya aku dan sahabatku si Dewa.Kulihat kembali tatapan makhluk di sampingku ini dengan tatapan kasmaran, aku meliriknya mengejek sambil membuka percakapan dengan orang yang ada di dalam telepon genggamku.
“Halo, selamat pagi! Dengan perusahaan desain kota Bandung, saya atas nama Chy HRD—ada yang bisa saya bantu?”
“Selamat pagi sayaaang! Tadi aku sudah urus semua terkait pekerja baru kita yang bernama Ran, dimulai tahap tes tulis, interview, dan lainnya enaknya kapan ya?”ujar orang di dalam telepon genggam yang digenggamnya, sontak aku tersipu malu dan berusaha semaksimal mungkin menjadi seorang HRD yang berwibawa dan bijaksana. Namun nais, disaat kumenatap satu makhluk astral di depanku ini, kewibawaanku hancur saat ia menatapku jelek sambil menjulurkan lidahnya.
“Halo Chy? Apakah kamu masih disana?”
“Eh iya! Ekhem, iya halo—hmm.. untuk tes tulis dan wawancaranya besok aja gimana? Lalu tahap interviewnya lusa saja, soalnya lusa besoknya lagi saya harus keluar ke Jakarta,”
“Baik, siap meluncur komandan! Seeyou!”
Tutt..tutt..tutt..Kutaruh pelan telepon genggamku dan kembali menatap sahabat plus orang gilaku ini. Ya, dia adalah Dewa—teman masa kecilku lalu merangkap sebagai teman sekolahku mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Cuma beda kuliah, aku kuliah di Universitas Gunadarma, sedangkan Dewa kuliah di universitas Indonesia. Walaupun kami tidak bertemu 4 tahun, komunikasi tetap terhubung sampai akhirnya semesta mempertemukan kembali.
Bagiku, lelaki berparas tampan dan berkumis tipis serta jenggot yang sengaja dipanjangkan juga berperawakan kurus tinggi ini adalah separuhku. Bagaimana tidak? Mulai dari kecil hidupku tak pernah luput dari uluran tangan sang Dewa. Kharismanya yang mempesona, dia adalah sahabat karibku sekaligus sudah kuanggap sebagai saudara kandungku sendiri—lebih tepatnya adalah adik aku sendiri, karena aku pribadi adalah anak tunggal dari keluarga yang lumayan cukup.
Aku beruntung, hidupku tak pernah luput dari rasa syukur. Selain mempunyai keluarga yang mampu memberiku kecukupan, aku juga mempunyai banyak kemampuan di berbagai bidang terutama dalam bidang seni. Kehidupanku tak luput dari tangan yang memegang kuas dan kanvas—ya, aku suka melukis, setiap perasaan yang aku rasakan kutumpahkan semua ke dalam lukisan, mulai dari rasa suka, duka, senang, benci, kecewa dan lain-lain. Selain melukis, aku bersyukur karena mempunyai seorang teman yang berjiwa malaikat—Krisna Dewa Ranjendra, orang-orang biasa memanggilnya Dewa. Dari kecil dia adalah sosok lelaki pelindung, tegas dan suka dengan aturan—beda denganku yang tak suka diatur, namunjiwa kepemimpinanku menang tinggi dibanding Dewa. Kami dari kecil kompak bahkan orang-orang kebanyakan menyebut kami sepasang. Entahlah, mungkin karena tinggi kita sama—hanya beda paras dan perawakan saja.
“Woi bengong mulu!” ujar Dewa mengangetkanku. Aku mendengus sebal langsung menjitak kepala setengah botaknya, dia ngeles sambil mengejek.
“Apa’an cepet! Aku mau keluar nih!” ujarku sambil beres-beres meja karena banyak tumpukan kertas, map, dan portofolio lain yang membuat mataku berkunang-kunang ini.
“Aku tertarik sama si calon pekerja baru kita, dengar-dengar dia mencalonkan diri sebagai managermu ya? Cantolkan ke aku dong,” ujarnya, membuatku berhenti sejenak dengan aktivitasku dan kembali menatap buaya buntung ini dengan nyengir kuda. Dia balas dengan tatapan sebal.
“Kamu mau sama dia?” tanyaku, dia mengangguk.
“Yakin?” tanyaku sekali lagi, dia mengangguk semakin mantap.