RAN
Aku mendeskripsikanmu seperti embun pagi yang sebentar. Aku menuliskanmu seolah aku adalah si toko utama yang menjadi pesulap. Aku menyulapmu seperti bintang yang bukan hanya bersinar di malam hari, namun juga bersinar di hatiku dan jiwaku selamanya.
Dari setiap goresan kata yang kutulis dengan pena biru kesukaannya, setiap katanya adalah curahan rasaku padanya. Butiran air mata sedih dan haru yang terkadang keluar dengan sendirinya, terkadang juga bibir tanpa sadar mengukir senyum, alis mengkerut sebal dan pipi menggembung lucu semua kutampilkan disaat hati, otak, dan pikiran kompak tertuju pada mata indahmu. Di malam yang sunyi ini, aku berbisik pelan pada sang rembulan, bisikanku padanya mungkin menggelikan telinganya. Namun, aku tak menghiraukan semua itu. Wahai sang rembulan yang berbaik hati menemaniku menulis puisi di buku kecil dan pena biruku, kau tau betul kan? Aku sangat mencintainya. Tak habis-habisnya aku menulis tentangnya sembari memikirkannya, merindukannya, dan memimpikannya. Tak ada yang bisa menggantikannya dihatiku. Seorang pria yang berani memberiku sebuah kenangan unik dan berbeda dari yang lainnya. Singkat kata, aku sangat sangat tidak ingin kehilangannya.
Wahai sang bintang yang saat ini setia mendengarkan curahan isi hatiku yang paling dalam, di kala senja sudah terbenam—kamu menjelma sebagai bidadari malam. Sang raja bulan bersinar terang menyambut menemani dirimu, sedangkan mata memandang malam dengan segenap jiwa yang tenang. Tanganku terus menulis dan menulis, membuatkan puisi kesukaannya—kau tau? Dia sangat menyukai puisiku. Katanya, berkat puisi yang kutulis untuknya inilah yang membuat hatinya lebih tenang dan nyaman dekat denganku. Katanya, setiap kali aku berada di dekatnya—aku harus membacakan puisi untuknya dan bahkan wajib hukumnya. Karena tanpa puisi yang aku buat, dia tidak akan bisa membangun mood-nya kembali tinggi akibat lelah seharian melukis dan bekerja di perusahaan miliknya. Dan bibir itu terus kupandang karena memang dia imut, menurutku. Setiap kali dia mengukir senyum di wajahnya, bibirku tanpa sadar juga mengikuti ukirannya. Apalagi kalau dia ketawa, membuatku semakin tak ingin memandang ke arah lain selain dirimu—oh malam ini aku sengaja berlebihan memujanya, dia memang tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Dia biasa-biasa saja, tapi hatinya yang membuatku memandangnya sebagai sosok pria yang luar biasa.
Mengingat kembali tentang bagaimana caraku mendapatkannya. Disini kutulis semua perihal yang berkaitan tentangnya—mulai dari yang terburuk sampai yang terbaik, mulai dari yang terhina sampai yang terindah, mulai dari yang tersedih sampai yang terharu, mulai dari yang terlampau sampai yang terbaru. Masa lalunya dan masa laluku, indahnya dan indahku, dan cintanya dan cintaku—dirinya dan diriku semuanya akan kutulis di buku kecil ini. Perihal tentangku atas dirinya, cerita tentang aku yang hampir mati dibuatnya, diriku yang hampir rutuh atas sikapnya, diriku yang hampir membuang diri ke semesta akibat jalan pikirnya yang konyol menurutku. Ya, semua adalah tentangnya yang berbeda dari orang biasa—semua adalah tentang dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya—diaku, dia, dia dan dia, dianya dan dianya, sampai ke titik aku dengan dia. Tak semudah itu aku mendapatkannya.
Hai semesta malam, maaf ya kalau malam ini aku banyak bercerita hari ini—karena hari ini adalah hari ajaib untukku. Entah apa yang saat ini ada di dalam pikirannya, karena hari ini adalah hari yang sangat sangat membahagiakan aku. Genggaman erat tangannya tadi sore membuatku ingin melayang bersama goresan cantik senja yang pencemburu. Mungkin saat itu senja benar-benar cemburu melihatku menatap mata indah miliknya yang begitu dekat. Dekapannya yang sontak membuat burung camar terkejut, hal itu membuat diriku berubah atas semuanya yang dia berikan padaku tadi.
Mungkin jika seandainya dia tidak seperti itu padaku, bisa jadi aku saat ini memeluk guling dan kembali berimajinasi tentangnya, kembali seperti yang sudah-sudah. Menangis tanpa sebab dan mengeluarkan ingus jijik sebanyak mungkin. Jika seandainya dia tidak mengatakan hal konyol seperti tadi, mungkin aku saat ini beraktivitas seperti biasa—ya, menulis puisi galau untuk dirinya besok. Berusaha menenangkan hatinya sampai hatinya kembali normal, dan berjuang agar aku bisa mengukir senyum di wajah tampannya. Seandainya juga jika aku tidak menatap bahagia mata indah itu, mungkin saat ini senja yang pencemburu itu sedang berpesta karena tidak melihatku bahagia. Dan mungkin juga burung camar tidak terkejut yang menimbulkan jantungnya meledak seperti hatiku tadi sore. Benar-benar si dia itu berhasil membuatku utuh, dan sanggup membuatku tidak berpaling dari siapa pun—padahal yang masih lebih baik dari dia banyak banget. Bukan hanya goresan alis yang tajam dan wajah tampan yang dia pampang dan bukan harta menggelimang yang dia punya—yang membuatku jatuh cinta sedalam ini padanya, tapi karena kesederhanaan cara yang dia perbuat agar aku jatuh cinta padanya. Kau membuatku perlahan mulai menaruh perasaan, hari demi hari di taman yang biasa kami kunjungi lalu saling berbagi cerita. Hingga pada satu titik aku menemukan cinta di bola matanya. Oh sungguh, kau benar-benar telah membuatku jatuh hati. Eh, maaf semesta—aku menceritakan dia lagi. Hehe..
Aku atas nama Syahrani Clara Puspanti yang biasa dipanggil Ran, wanita biasa yang mempunyai hati yang luar biasa, mempunyai rasa cinta yang tak berbatas seperti cakrawala, yang mempunyai rasa yang tak terdefinisi seperti matematika, dan memiliki kemampuan setia padanya yang tak tau kapan habisnya. Yang tak terhingga semuanya seperti langit biru muda—akan senantiasa menulis dan mengekspresikan cintaku tentangnya di malam ini, di hari cinta yang sangat utuh tak tergores sedikit pun, dari segenap hatiku yang tak karuan luar biasa besarnya—berikut adalah tentangku dan sedikit puisi-puisi sederhana buatanku yang berhasil membuatnya jatuh cinta padaku!
“Terima kasih telah menjadi penyemangatku dalam dunia tulis menulis, menjadi inspirasiku dalam berpuisi, menjadi teman dalam dunia menulisku, dan setia menaburkan benih disaat aku berimajinasi hingga menjadi nyata.”