Bagian Empat

2.2K 313 3
                                    




🐁🐬

Piknik dadakan itu berakhir dengan Jisung yang menemani si Tuan Muda tidur siang. Jemari panjang Jisung menyisir surai oranye milik Chenle. Pemiliknya tak terganggu malah semakin nyenyak.

Satu jam lebih bertahan dengan posisi Chenle yang berbaring dan Jisung yang duduk tenang memainkan ponsel. Pergerakan kepala Chenle membuat Jisung langsung menatap wajah pemilik kepala yang mengusal dipahanya.

"Kenapa?" Jisung mengusap dahi Chenle yang agak berkeringat. Matanya mendelik ketika dahi Chenle terasa agak lebih hangat dari biasanya.

"Pusing," rengek Chenle.

"Kau memakan sarapanmu 'kan tadi?"

Chenle menggeleng. Jisung mendesah berat. "Kau itu kebiasaan sekali. Ya sudah ayo cari makan siang dulu," ajak Jisung.

Tak ada pilihan bagi Chenle untuk protes selain menurut pada Jisung atau pemuda jangkung itu akan mengomelinya. Chenle bisa makin pusing.

Jisung melipat tikar sementara Chenle berjongkok memandanginya dalam diam. Tak ingin membiarkan Chenle menunggu lebih lama lagi pemuda jangkung itu melakukan pekerjaannya jauh lebih cepat. Tangan kanannya diulurkan untuk menyambut Chenle. Tentu disambut si surai oranye itu dengan senang hati.

Tubuh mungil Chenle langsung merapat pada Jisung. Terlalu takut jika terjatuh karena tubuhnya yang kurang seimbang saat ini.

Lengan kanan Jisung melingkar dibahu Chenle. Sementara tangan kirinya penuh. Membawa kantung plastik dan tikar.

"Tunggu di sini sebentar aku mengembalikan tikar dulu," pesan Jisung yang diangguki Chenle. Pemuda itu berjongkok tepat di sebelah motor Jisung.

Tak lama Jisung meninggalkan Chenle. Karena pemuda itu tak pernah ingin membuat Chenle menunggu lama. "Bisa tidak naiknya?"

Chenle mengangguk. Tangannya memegang bahu Jisung untuk membantunya naik ke atas motor. Tak lupa helmet sudah dikenakan. Sebab bagaimana pun safety is first.

Awalnya Jisung ingin mengajar pemuda yang lebih tua darinya dua bulan ini ke salah satu kedai makan. Namun diurungkan. Lebih memilih untuk mengantarkan Chenle pulang supaya si surai oranye itu bisa istirahat langsung.

"Bibi Wang, bisa tolong buatkan bubur untuk Chenle?" pinta Jisung pada salah satu pelayan kediaman keluarga Zhong itu. "Juga bawakan paracetamol."

"Baik Tuan Muda."

Jisung sudah kembali ke kamar Chenle. Mengompres dengan sangat telaten dan hati-hati. Chenle-nya tampak gelisah, hingga sesekali tangan Jisung sesekali akan mengusap puncak kepala si Tuan Muda.

"Jisungie?"

"Iya, aku di sini."

"Pusing sekali. Kepalaku rasanya berputar-putar."

"Tunggu sebentar ya, Bibi Wang sedang membuatkan bubur setelah makan lalu minum obat."

Chenle menjawab dengan gumaman. Ketukan pintu membuat Jisung beranjak dari sisi ranjang tempatnya duduk. Ada Bibi Wang membawakan apa yang dimintanya tadi.

"Terima kasih, Bi." Jisung meletakkan nampan berisi semangkuk bubur, segelas air dan paracetamol itu di atas nakas. Baru membantu Chenle duduk.

"Pahit," ujar Chenle begitu satu suapan dari Jisung masuk ke mulutnya.

"Pahit sedikit, supaya cepat sembuh."

Lima suapan dan Chenle menghentikan makannya. "Sudah ya?"

Jisung mengangguk. Setidaknya itu lebih baik dari pada perut kosong Chenle. Segelas air dan paracetamol menjadi hidangan penutup makan siang Chenle.

Setelah membantu Chenle berbaring Jisung beranjak. Berniat mengembalikan mangkuk bubur itu ke dapur. Namun si Tuan Muda itu merengek, "Jisungie jangan pulang, di sini saja."

"Aku hanya akan ke dapur mengembalikan mangkuk," Jisung membalas dengan usapan di dahi Chenle.

"Segera kembali ke sini."

Senyum Jisung tak bisa tak mengembang. Ia mengangguk. Berlalu meninggalkan kamar si Tuan Muda untuk mengembalikan mangkuk ke dapur. Sekali lagi, Jisung tak bisa membuat Chenle-nya menunggu lama. Sebab itu tungkai panjangnya melangkah lebih cepat.

🐁🐬

Ehehehe

He Had Never Been Like This Before - Chenji🌱Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang