"Pasukan Banten sudah terlihat Ki Syahbandar".
Teriak seorang pasukan dari barisan kapal paling depan.
"Siapkan panah. Jaga lapisan antar kapal. Barisan pendobrak, jangan terlalu dekat dengan barisan dinding."
Barisan Suchimuka Byuha kerajaan Banten akhirnya sudah sampai di Pelabuhan Muara Musi. Genderang perang ditabuh dari kedua sisi.
"Panah api!"
Syahbandar berteriak mengomando pasukan."Tembak!"
Melesatlah 3000 anak panah api dalam sekali lesatan. Dan terus menerus dilesatkan oleh pasukan Palembang mengarah ke barisan kapal pasukan Banten.
Kapal-kapal kerajaan banten sudah siap dengan serangan ini. Mereka menggulung layar kapal dan mengangkat lembaran logam besar yang ditopang dengan kayu untuk melindungi kapalnya dari panah api. Panah-panah yang mengenai logam itu memantul dan terbuang ke laut. Kapal-kapal banten juga sudah dilapisi tembaga di dindingnya sehingga tidak mudah diserang oleh panah-panah api.
"Panah api tidak mempan pada mereka Syahbandar".
Seorang prajurit lagi berteriak.
"Jangan takut terus menembak. Tunggu mereka lebih dekat lagi. Lalu, kita laksanakan rencana kedua".
"Bersiaplah untuk mati atas nama Allah! Allahu Akbar!"
"Allahu Akbar!"
"Allahu Akbar!"
"Allahu Akbar!"Takbir menggema dari pasukan Palembang.
***
Di Indrajaladri.
Sultan Maulana Muhammad Nasruddin berdiri di geladak tak sedikit ketakutanpun terpancar darinya. Tidak ada gentar. Tapi hanya sedikit kebingungan.
"Panggilkan Pangeran Mas".
Titah Sultan pada pengawalnya.Sesaat kemudian, Pangeran Mas datang menghampiri sultan.
"Hamba melapor baginda. Saat ini kita sedang dihujani oleh panah api. Hamba memfokuskan diri untuk mengatur pasukan di buritan (belakang) kapal. Baiknya baginda tidak tetap berdiri di sini. Keselamatan baginda dalam bahaya".
"Aku berdiri di manapun itu urusankan. Lagipula aku tidak percaya mereka bisa membunuhku. Yang menentukan ajalku hanya Allah, bukan panah-panah api ini".
"Aku memanggilmu untuk menanyakan langsung padamu. Apa kau dengar seruan-seruan itu? Apa kau dengar teriakan lantang itu?"
"Itu seruan kalimat takbir baginda".
"Lantas kenapa kau mengatakan bahwa Palembang adalah negeri Kafir jika Takbir masih bergemuruh di pasukan mereka!"
Sultan muda itu murka. Wajahnya merah padam menahan amarahnya pada Pangeran Mas.
"Ampun baginda. Kiranya baginda jangan sampai salah menilai keadaan dan jatuh dalam siasat lawan".
Pangeran Mas berlutut dan memohon ampun pada sultan.
"Negeri Palembang adalah negeri yang licik. Penguasanya adalah seorang kafir yang telah terang-terangan mendukung dominasi Inggris dalam perdagangan. Penguasa mereka juga telah ikut dalam agama mereka".
"Mereka berteriak takbir untuk membingungkan baginda. Untuk membuat Sri Ratu ing Tanah Banten menarik mundur pasukannya dan tak jadi melanjutkan serangan. Padahal kemenangan sudah di depan mata kita. Lihatlah, hujan panah api tidak mempan pada kita. Jangan karena teriakan takbir, kita jadi mundur dari gelanggang. Mohon baginda mempertimbangkan".
Sultan melihat ke angkasa. Armadanya masih dihujani panah api. Hanya beberapa saja dari kapalnya yang terbakar. Dia masih yakin Banten bisa memenangkan pertempuran ini.
Tapi di hatinya ada yang mengganjal. Dia tahu takbir yang diserukan itu adalah takbir yang sungguh, bukan rekayasa. Takbir yang dilantangkan dengan keimanan dan tidak ada ketakutan sedikitpun. Mampu menggetarkan hati siapapun.
"Aku akan membuktikan sendiri. Pasukan kita dilihat dari sisi manapun mampu memenangkan pertempuran ini. Sekarang hanya Allah yang menentukan, siapa pemenang pertempuran ini. Pemenangnya adalah pihak yang benar".
"Semoga kau mengatakan yang sebenarnya, Pangeran Mas. Kita akan lanjutkan penyerangan. Kembali ke posisimu".
"Daulat Baginda".
Pangeran Mas meninggalkan sultan dan kembali ke Buritan. Lalu sesaat kemudian Kadi Mangkubumi berdiri di sisi kanan sultan.
"Sri Ratu ing Tanah Banten, Sultan Maulana Muhammad Nasruddin, putraku".
"Kadi Mangkubumi, ramaku. Mengapa kau ada di sini. Sangat berbahaya di geladak".
"Lalu kau memintakan meninggalkan sultanku, rajaku, suami dari putriku tercinta yang juga kucintai seperti anak sendiri juga tetap berdiri di sini? Tidak sultan. Sekalipun kau perintahkan aku untuk mundur, aku akan tetap berada di sampingmu".
"Kalau begitu terimakasih Rama".
Sejenak hening di antara dua pria yang terpaut jauh usianya itu. Kadi Mangkubumi sudah sepuh dengan punggung yang mulai membungkuk. Dan sultan muda dengan punggung tegap berdiri menghadapi hujan panah api yang sepertinya tak mau menyentuh mereka.
"Rama, dulu sepeninggal ayahku, dan umurku masih sembilan tahun. Kau galang ulama untuk menyapu pemberontakan Pangeran Jepara yang ingin merebut tahta Banten".
"Sekarang jika serangan ini gagal. Banten sekali lagi akan ada dalam kekacauan. Karena putraku baru 5 bulan usianya".
"Sekali lagi, aku amanahkan padamu kuasa sebagai wali tahta jika hal buruk menimpaku. Didiklah putraku sebagaimana kau mendidikku dulu. Dan jagalah trah Maulana Hasanuddin sebagai pemilik kuasa yang sah atas tanah Banten".
"Sultan, putraku. Apapun yang terjadi di pertempuran ini. Terjadilah. Tapi aku tak akan meninggalkan sisimu. Aku sudah renta. Bukan kau yang akan gugur di sini. Tapi aku. Akulah yang bersalah karena tak mampu meyakinkanmu bahwa penyerangan terhadap Palembang adalah sia-sia".
Dan keduanya terjebak dalam keheningan. Di saat palagan palembang telah membara. Api telah menyala. Dan pekikan peperangan sudah terdengar.
Keduanya hening menghadapi dirinya sendiri. Namun Pertempuran Palagan Palembang sudah dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pabuaran, Permulaan Datangnya Angkara
Historical FictionKetika sebuah kerjaan sebesar Banten. Tanah yang Makmur, pelabuhan yang ramai, bumi yang kaya. Cerita ini adalah sudut pandang lain yang terjadi selama beberapa fase jatuh, bangkit, dan runtuhnya kerajaan Banten. Sebuah sudut pandang dari rakyat y...