Dinding Api Muara Musi

7 1 0
                                    

"Panglima Syahbandar. Armada Banten sudah mulai menabrak barisan kapal yang kita sengaja tempatkan menghalangi jalan mereka".

"Bagus mereka sudah masuk jebakan kita".

"Perintahkan untuk pasukan yang ada di barisan penghalang untuk terus menembak dan tancapkan galah panjang ke kapal-kapal Banten. Sangkutkan galah itu ke labung kapal mereka".

"Selanjutnya, kita buat dinding api di Pelabuhan Muara Musi".

"Daulat Syahbandar".

Pertempuran terus berlanjut. Armada Palembang berhasil memancing armada Banten untuk terus maju dan menerjang. Hujan api yang dikirimkan sebenarnya sengaja tidak mengincar bagian depan barisan armada Banten, tapi mengejar bagian sampingnya.

Hingga tabrakanpun tak terhindarkan. Kapal-kapal di barisan terdepan barisan suchimuka wyuha menghantam kapal-kapal yang sengaja dipasang dibariskan. Memalang laju kapal-kapal banten.

***

Di sebuah kapal yang berbaris memalang Muara Musi. Menjadi dinding yang menghalangi armada besar yang congkak dan egois, armada kerajaan Banten.

Armada yang bergerak dan bertempur, berniat untuk menggempur negeri kami yang mereka tuduh negeri kafir. Padahal jelas kami tidak demikian. Dan tak sekalipun duta dari Banten datang dan melihat sendiri keadaannya.

Aku percaya, mereka menggempur kami bukan karena persoalan agama. Bagi sebagian orang, agama hanya kedok untuk kepentingan kuasa. Korbannya adalah kami, kaum kawula, kaum rakyat biasa. Bila kami tak menghentikan kecongkakan mereka di sini, Rakyat Palembang yang akan jadi korban.

Oleh karena itu aku bertarung di sini. Di atas kapal ini. Sebagai seorang kepala regu prajurit kapal perang.

Kapal kami kapal Pelancap. Kapal kayu ukuran sedang yang panjang dan ramping dengan satu layar. Kapal ini hanya membawa 30 awak yang semuanya prajurit. Walaupun kapasitas penuh kapal ini adalah 70 orang. Kapten bilang, ini bagian dari rencana Tuan Syahbandar. Dan tau betul apa rencana itu.

"Kapten, kapal Banten mendekat. Bersiap untuk tabrakan".

Aku menyeru pada kapten untuk tidak kehilangan fokus.

"Bagus. Siapkan siasat berikutnya. Kita bertempur sampai mati di kapal ini!"
Kapten menyeru ke semua awaknya.

"Daulat Kapten!"
Balas semua awak kapal ini.

"Biar laut menjadi saksi darah dan nyawa kita tertumpah atas nama pengabdian. Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"
"Allahu Akbar!"
"Allahu Akbar!"

Aku tertawa saja. Tidak ikut takbir. Sudah cukup banyak takbir kupekikkan, tapi nyatanya tak ada takbir yang sedemikian murni di medan perang.

"Buka formasi!"

Aku berseru. Dan tanpa aba-aba lebih lanjut, 20 pasukan di geladak meletakkan busur dan panahnya. Mengangkat tombak dan tamengnya, lalu bergerak menjadi 4 kelompok kecil. Aku bergabung dengan salah satu kelompok itu.

Empat orang berbaris di depanku dan memasang perisai lingkaran mereka melindungku dari depan dan dua sisiku. Sedangkan aku merunduk dan menyiapkan 3 tombak dan mengunci sasaran.

"Penombak! Lempar!"

Aku memberi aba-aba. Dan kami para penombak berdiri, dalam sedetik melesatkan tombak ke sasaran. Lalu turun kembali ke perlindungan, untuk selanjutnya melesatkan tombak lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pabuaran, Permulaan Datangnya AngkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang