ETMR

38 3 0
                                    

Rintikan air yang jatuh ke atap menghasilkan suara dentingan membuatku hidup kembali dari mati sementaraku. Aku meraih benda munggil yang berada di samping tempat tidur, membuatku tahu bahwa matahari tengah bersiap-siap untuk menampakkan wujudnya. Mataku tiba-tiba mekar saat mengingat hari ini hari yang penting bagiku, bagi ibu dan juga bapak.

Aku mulai beranjak dari atas tempat tidurku, melangkah dengan menggunakan trik sulap dengan tidak membuat kaki ini mengeluarkan suara. Kenapa? Ya karena aku ngak mau kalau sampai ayah dan ibu terbangun istirahat mereka karena kemarin sudah bekerja seharian penuh. Tak tega rasanya aku membangunkan keduanya pagi buta ini.

Ketika aku memasuki sebuah tempat yang berada di samping rumahku yang berdindingkan atap-atap bekas sehingga tempat ini bisa kami jadikan untuk kamar mandi. Jika berjalan lima langkah ke arah kiri maka aku akan menemukan sebuah sumur tua. Aku mulai melempar ember yang dikaitkan dengan seutas tali, membuatku mengeluarkan tenaga untuk manarik ember tersebut ke atas. Dengan itu aku akan mendapatkan air yang akan digunakan untuk keperluan. Itu yang aku lakukan hingga ku rasa air tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Orang tua ku yang terbangun karena grusuk-grisik ku yang mencari dimana pakaian ku membuat ibu dan ayah terbangun dari tidur. Mereka bangun di saat yang tepat. Karena sebentar lagi waktu subuh segera tiba. Mereka membersihkan diri terlebih dahulu sedangkan aku mulai mempersiapkan tempat untuk sholat subuh. Karena masih belum siap. Aku memilih untuk sholat sunah terlebih dahulu. Langkah ku ternyata tepat. Setelah selesai sholat sunnah, ibu dan ayah juga sudah siap melaksanakan sholat subuh berjamaah. Entah kenapa aku berharap kalau langkah ku hari ini juga tepat dan diridoii Allah swt.

Pagi yang cerah ini membuatku bersemangat untuk menjalankan hariku walau sebenarnya aku sekarang tengah menunggu tumpangan yang tak kunjung datang yang dapat mengantarkan ku ke kota. Iya kota. Aku ingin meraih cita-cita ku dengan mengambil langkah awal memasuki sekolah favorit di kota. Bukannya hanya karena cita-cita ku melainkan suatu wujud berbakti kepada orang tau dengan membuatnya bangga.

Akses yang akan aku tumpangi ke kota bukanlah taxi, bis, angkot maupun ojek, melainkan sebuah truk pengangkut kayu dari dalam hutan. Itu pun aku tak tahu kapan dia akan lewat. Ketika jarum jam berputar begitu cepat. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalana dengan berjalan kaki. Mula-mula kulepas sepasang sepatu yang sudah berumur tua tapi masih layak untuk dipakai agar tidak kotor. Sebab di sini belum ada aspal melainkan cuman tanah biasa yang kalau siap turun hujan akan membuat jalannya licin dan kotor.

Panca indraku yang berfungsi untuk menangkap suatu bunyi mesin mobil, tiba-tiba menghentikan langkah ku. Berharap aku bisa meminta tumpangan sampai ke kota. Melambai. Ya itu yang ku lakuakan sekarang. Supir yang berhati mulai ini memberikan aku tumpangan yang membuat aku tak berhenti-hentinya untuk berterimakasih. Tak terbayangkan oleh ku apa jadinya jika aku pergi ke SMAN 1 Padang Panjang berjalan kaki yang kira-kira dapat menempuh perjalanan selama 4 jam.

Sepanjang perjalanan aku membayangkan ketika namaku ada di papan pengumuman penerimaan peserta didik baru. Aku juga membayangkan bagaimana reaksi ku nanti. Setelah itu gimana aku akan menempuh pendidikkan di sana. Memikirkan hal itu membuatku senang tak sabar ingin sampai di sana.

Aku turun di sebuah persimpangan. Kenapa? Truk yang aku tumpangi ini tidak mengarah pada SMAN 1 Padang Panjang. Ya, langkah selanjutnya adalah menaiki angkot. Ternyata di dalam anggkot juga banyak sekali terdapat anak dan orang tuanya yang akan mengambil hasil PPDB-nya. Ayah dan ibuku tak bisa pergi karena mereka sudah berjanji akan bertani di sawah milik orang lain. Dan aku pun yang meminta keduanya untuk tetap menepati janjinya. Toh hari ini cuman pengumuman nama aja. Dan aku pun mencoba untuk memberanikan diri ke kota sendirian tanpa didampingi.

SSCWhere stories live. Discover now