PART TW0

12 2 0
                                    


Siang ini cuaca amat bersahabat. Mahasiswa tampak berlalu lalang di lingkaran kampus Pelita Persada dengan berbagai macam urusan. Ada yang memacu sepeda motornya agar melesat kencang, tak sedikit juga yang masih dengan santai menikmati jajanan kantin di sudut-sudut kampus.

Selesai menunaikan shalat dzuhur tadi, Aura dan Fani sengaja tidak langsung pulang ke kos dan menepikan diri di dalam mushalla universitas. Menghindari hiruk pikuk di jalanan sambil mengucapkan dzikir selepas shalat merupakan hal yang paling lazim mereka lakukan. Tak berapa lama setelah ini keduanya harus mengikuti mata kuliah selanjutnya. Maka menit-menit terakhir siang ini ia manfaatkan untuk mencari makan siang di sekeliling kampus sembari beristirahat.

"Aku nggak habis pikir tuh anak, sampe setega ini sama orang tuanya, ckck" Omel Aura, sedari tadi pikirannya tak lepas dari kekhawatiran tentang Fahri.

"Lha dia aja mana pernah peduli sama kamu, Ra. Ngapain dibela-belain segala? Kalau aku jadi kamu ya sudah kutolak mentah-mentah tawaran ibunya itu. Lagian sekarang cowok itu banyak banget maunya, mentang-mentang ganteng. Tapi nggak usah merepotkan orang lain juga, kali!" Fani ikut mengomel sambil mengoleskan lipstik di bibirnya. Urusan make up sambil berjalan ini memang Fani jagonya. Mungkin kalau ada tantangan bersolek tanpa cermin, Fani juga yang akan juara, betapa lihai kemampuannya itu.

Aura menggeleng tak ingin menanggapi lagi. Matanya kini tertuju pada layar handphone, sengaja mengecek pesan dari Dory. Lagi-lagi gadis itu menggerutu dalam hati, yang diharapkan bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kalau saja Dory adalah orang Indonesia, tentu hampir semua makian kerap ia lontarkan. Tapi kali ini tetap saja, nasib baik sedang tidak berpihak padanya.

Fani mencolek lengan Aura, melirik lelaki tinggi berambut kusut di depan mereka akan menuju ke kantin."Panjang umur tuh, orangnya!"

Aura menarik napas panjang. Kakinya lebih dulu mengejar sebelum Fani selesai memberi saran padanya perihal kata-kata apa yang harus ia ucapkan nanti pada Fahri. Sayang, Fani keliru soal ini, Aura bahkan telah merancang sikap dan ucapannya bila bertemu lelaki yang ia anggap sebagai rivalnya itu.

"Ibu kamu telepon aku suruh kamu pulang!"Aura denagn sigap berada di belakang Fahri. Yang diajak bicara malah tak memperhatikan, sibuk memperhatikan layar telepon genggamnya.

"Eh, anak durhaka! Ibu kamu suruh kamu pulang!" Gadis itu menjerit sekali lagi. Spontan memalingkan beberapa mata ke arah mereka. Bagaimana tidak, kesibukan di kantin siang itu serentak berhenti sesaat ketika Aura memanggil lelaki di depannya itu dengan ungkapan yang tak biasa.

"Kamu panggil saya?" Fahri berbalik menatap Aura yang dua puluh senti lebih rendah darinya. Tatapan yang lebih tajam dari seorang dosen penguji yang bertanya pertanyaan berlipat di sidang akhir.

"Kamu memang anak yang nggak punya malu, Ya. Udah nggak masuk kuliah, pulang juga enggak. Eh malah keluyuran!"

Fahri dengan perasaan menahan malunya lantas menarik ransel Aura hingga gadis bertubuh mungil itu ikut terseret ke luar kantin. Lalu, dengan santainya Fahri mengeluarkan sebatang rokoknya, tak peduli dengan tatapan melotot Aura. Sedangkan Fani, ia memilih tidak ikut campur, hanya memberanikan diri memantau dua manusia itu dari kursi kantin paling depan.

"Trus kenapa kalau Ibu saya telepon kamu? Kamu merasa terganggu? Kalau gitu tinggal bilang aja. Itu kan sama sekali enggak merugikan kamu?" Fahri beralih menghisap rokoknya lantas meniup puing asap rokok ke wajah Aura dengan sombongnya.

Bukan kali ini saja Aura diperlakukan sedemikian itu oleh Fahri, ia telah berpikir dalam-dalam resiko apa yang akan ia terima ia bila memberanikan diri berbicara pada makhluk liar ini, apalagi harus membentaknya seperti tadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

THE PERFECT SOULMATEWhere stories live. Discover now