Bagian 3

224 16 1
                                    

Dorm FROMIS_9 tampak tenang di bawah sinar matahari yang menerobos jendela, menciptakan kehangatan lembut yang menyebar di setiap sudut ruangan. 

Di salah satu kamar, Gyuri terbaring nyaman di atas kasurnya, terselimuti oleh selimut tebal yang tampak sulit untuk dilepaskan. 

Sinar matahari yang masuk perlahan menyentuh wajahnya, tapi belum cukup kuat untuk membangunkannya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan, menampakkan sosok seorang gadis berwajah cantik dengan ekspresi campuran antara keprihatinan dan kelelahan. 

Jisun berdiri di ambang pintu, memperhatikan eonnienya yang masih terlelap. Dengan lembut, ia memanggil, "Eonnie, bangun! Sudah siang, apa kau tidak punya jadwal hari ini?" Suaranya terdengar manis, meski penuh ketegasan.

Gyuri hanya menggerakkan bahunya sedikit, lalu menggumam dalam nada malas, "Hmm."

Jisun mendekat dan menyentuh bahu Gyuri, menggoyangkannya dengan lembut. "Ayo, eonnie, bangunlah. Setidaknya kau harus mandi, meskipun tidak ada rencana kemana-mana," katanya dengan suara yang lebih tegas.

"Lima menit lagi..." balas Gyuri, suaranya nyaris tenggelam dalam kantuk.

"Serius, eonnie!!" seru Jisun, mendesak dengan nada bercampur kesal.

Gyuri menghela napas malas. "Baiklah, Jisun-ah," jawabnya sambil menggerakkan tangannya seolah mencoba menepis seruan Jisun.

Menyerah, Jisun bangkit dan meninggalkan kamar, menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. 

Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, di mana Saerom tampak sibuk mengaduk minumannya.

"Jadi, bagaimana? Apa dia sudah bangun?" tanya Saerom sambil memandang Jisun dengan senyum tipis.

Jisun menggeleng sambil menghela napas. "Molla, eonnie. Dia sangat susah dibangunkan," jawabnya sambil mengambil bahan-bahan untuk memasak sesuatu yang sederhana tetapi bergizi.

Saerom terkekeh. "Memang, dia itu sulit sekali bangun kalau sedang lelah. Kau yang paling tahu itu, bukan?" kata Saerom dengan tawa pelan sambil meninggalkan dapur, membiarkan Jisun yang masih sibuk memasak.

Jisun berdecak pelan. "Haish... tapi tetap saja, setidaknya dia harus makan sebelum pergi menjalani jadwalnya. Bagaimana kalau dia pingsan karena belum makan sama sekali," gerutunya dengan wajah serius.

Di kamar, Gyuri akhirnya bangun, matanya masih setengah terpejam, mencoba mencari-cari handuknya. Dengan mata yang nyaris tak terbuka, ia bergumam, "Hmm, di mana aku meletakkan handuknya ya?"

Tiba-tiba, ia berteriak, "Jisun-ah, apa kau melihat handukku?" Suaranya yang nyaring membuat Jisun, yang berada di dapur, menoleh.

"Ada di gantungan di lemari, di dekat jendela, eonnie!" balas Jisun dengan nada tegas, terdengar dari dapur.

Gyuri memandang ke arah yang ditunjukkan Jisun, matanya sedikit menyipit karena sinar matahari yang masuk dari jendela terlalu terang. "Aduh, terlalu terang kalau aku membuka mata..." keluhnya, menutup matanya lagi sambil meraba-raba ke arah lemari.

Jisun mendengar keluhan Gyuri dari dapur, dan, tak tahan lagi, berteriak, "Eonnie, buka matamu lagi! Jangan terus dipejamkan! Kalau kau terus seperti itu, kapan kau akan mandi?!"

Gyuri akhirnya menyerah pada ketegasan Jisun, membuka matanya lebar-lebar, mengambil handuk yang tergantung, dan berjalan pelan menuju kamar mandi, meninggalkan Jisun yang menghela napas lega di dapur.

.

.

Dua puluh menit berlalu, dan Gyuri muncul dari kamarnya dalam pakaian rapi, siap untuk menjalani jadwalnya hari ini. 

𝕻𝖗𝖊𝖈𝖎𝖔𝖚𝖘 𝕿𝖎𝖒𝖊  [Very Slow Update][Rewriting]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang