PROLOG

1.3K 36 9
                                    


"Kalo kita udah gede, aku mau lamar kamu. Kita nikah. Terus punya anak cantik kayak kamu." Fazka memegang kuat tangan gadis kecilnya.

"Kamu mau kan nikah sama aku?" mata kecil itu memberikan keseriusan.

Di usianya yang baru tujuh tahun, ia sudah berani melamar seorang gadis, gadis kecil, Kinanthi namanya. Gadis kecil itu hanya tersenyum, mengangguk tanda setuju.

"Aku mau, Kak."

***

Kinanthi segera tersadar dari lamunannya. Ia hanya tersenyum mengingat kisah kecilnya.

"Aku gak akan pernah lupa sama janji kamu, Kak."

Air matanya mulai membuat garis lurus di pipi merahnya.

"Aku gak lupa, Kak."

Tangisnya semakin menjadi. Ia remas kuat-kuat foto yang menggambarkan tiga anak kecil dalam satu ayunan itu. Fazka, Kinanthi dan seseorang berwajah pucat, Indra.

"Aku gak lupa, Kak. Gak akan pernah lupa. Kamu udah bunuh Indra."

Di depannya, mematung seorang pria tampan dengan sebuket bunga mawar putih. Fazka, hatinya merasakan sakit saat mendengar kalimat itu. Bendungan di matanya pecah. Hangat ia rasakan mengalir di pipinya.

"Aku tahu," suaranya terdengar parau.

Langit biru itu kini kelabu, bahkan menjadi gelap. Segelap hati Fazka.

"Aku tahu, Ra."

Dadanya terasa sesak. Ia gigit bibirnya kuat-kuat. Ini bukan pengakuan, baginya ini hinaan. Bagaimana bisa ia membunuh kakak dari gadis yang ia cintai sejak kecil. Ia tatap mata gadis kecilnya tajam. Semakin lama, semakin dalam, Fazka rasakan kebencian.

Dan Tuhan kembali menurunkan rizkinya, hujan. Rintiknya membuat melode sendu, sesekali terdengar keras seperti gesekan biola dalam drama. Di sudut kiri taman kota, dua orang anak adam terguyur hujan cinta. Cinta Tuhan pada anak manusia pedendam. Ya, dendam Dira pada Kaka. Kinanthi pada Fazka.

"Aku minta maaf."

Kalimat itu tak membuat gadis kecilnya cair dari kebekuan hatinya. Ia telah berubah, gadis kecilnya berubah, berubah menjadi gadis dingin.

"Dira, Kakak minta maaf."




Origami KinanthiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang