"Lo yang bunuh DIA kan?" kutunjuk tanah merah yang masih basah itu.
"Raa..." sekarang aku benci mata teduh itu.
"Dira, tenang sayang."
"Ma, aku gak bisa tenang."
"Raa ..." sekali lagi ia memanggilku.
"Maafin aku. Maaf karena ...."
***
Awal Oktober 2010
Hujan terus mengguyur kota ini. Ia berduet mesra dengan dentuman keras yang muncul dari geledek dan saudaranya, halilintar. Pohon-pohon bak seorang penghibur yang sedang melenggak-lenggokan tubuhnya di depan sang penguasa. Sesekali angin bertiup, berbisik; aku malu melihatmu menjual tubuhmu.
Sementara itu di pojok kiri bunga Bougenville berpeluk mesra sepasang katak. Pasangan? Entahlah, mereka mungkin saja hanya berteman, mungkin juga selingkuhan? Arrgh..
Faktanya, saat ini Kinanthi mulai tak fokus dengan semua perkataan dosen di depannya.
"Hurf ...."
Ia terus melakukannya berulang kali. Dingin ini menusuk setiap pori-pori, memaksa mata untuk terus berkedip dan menutupnya secara perlahan.
"Kinanthi!"
Harusnya, ia mendengar namanya disebut. Entahlah, suara dosen itu pasti menghujam telinganya. Berdentum, menggema.
"Kinanthi!!"
Sekali lagi, kali ini benar-benar begitu menghujam telinganya, merambat, mengaliri setiap impuls di otaknya dan memerintahkan untuk;
"BANGUUUN!!!!!!!"
"Iii ... Iya, Pak. Maaf. Maaf, Pak. Hurf ...."
Jantungnya benar-benar berdetak kencang, seperti seorang pelari yang mulai berputus asa saat berlari, ia buang napasnya asal setelah melihat siapa yang melakukannya. Hanya sebentar, karena setelahna, napasnya kembali memburu, matanya hanya fokus pada dosen yang saat ini tengah memandangnya kesal, membuat nyalinya menciut.
Sial! Ilham yang memanggilku. Sekarang, matilah aku.
Semua memandang ke arah Kinanthi heran. Ada pula yang geleng-geleng kepala. Tersenyum. Mengejek.
Arrgh, aku benar-benar tak suka jadi pusat perhatian begini.
***
"Kenapa sih? Lo begadang tadi malem?" Thio menepuk punggung Kinanthi.
"Gak."
"Terus, sampe harus tidur plus diteriakin dua kali, itu kenapa, MAN?" Lia menatap Kinanthi dengan mata besarnya.
"Man, Man. Emang nama gua Maman." Sungut Kinanthi kesal.
Sedikit informasi:
Kinanthi ini anak karate. Teman-teman lebih suka memanggilnya Dirman dari pada Dira nama panggilannya sendiri. Entahlah, mereka bilang Kinanthi alias Dira ini seperti anak laki-laki.
Kinanthi Adira Wijaya, sangat feminim kan? Entah di mana unsur ke-LAKI-LAKI-an itu. Yang jelas, dari bawah kaki sampai ke atas kepala, Kinanthi seperti perempuan pada umumnya. Rambut panjang dikucir kuda, kulit putih bersih, memakai kaos polos plus celana jeans, wajar kan??
Hanya saja, ia memang sedikit mudah untuk memukul dan menendang orang. Wajar juga kan? Untuk apa kemampuan bela dirinya selama ini, jika tidak untuk dipakai? Benarkan? Tetapi, untuk urusan memukul dan menendang sembarangan, itu memang tidak dibenarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Origami Kinanthi
RomansKinanthi tidak lagi memandang Fazka sebagai pacarnya setelah kematian kakaknya, Indra. Hubungan Kinanthi dan Fazka merenggang karena kesalahpahaman yang tak kunjung dibicarakan. "Kamu pembunuh!" Dan Fazka bahkan tak bisa meradang pada gadis kesayan...