Suasana ruangan dengan nuansa putih itu kini sepi.Hanya tersisa Jasmine dan Al. Sementara kedua paruh baya yang tadi mengantar Jamine sudah pulang sejak sejam yang lalu.
Ya itupun Al yang menginginkan dengan alasan agar Jasmine beistirahat dan ia yang menjaganya.
Terdengar helaan nafas berat dari Al. Kini ia tengah menonton setiap jengkal wajah istrinya yang terlihat damai. Bibir pucat dan tulang pipi yang kian menonjol menandakan bahwa wanita di depannya semakin kurus, Al meringis. dalam hati ia menggerutu. ‘apa mungkin ia telah banyak merepotkan’ tanpa Al pikirkanpun sebenarnya sudah jelas. terkadang siang malam Jasmine harus stay kalau-kalau Al kambuh.
Memikirkannya saja pasti membuat tubuh semakin kurus.
Tak terasa tangan pria itu perlahan mengusap lengan Jasmine yang bebas. Al terlihat begitu bersalah. Ternyata pergeraknnya membuat Jasmine terbangun“Al.” Dengan suara serak ia memanggil Alvaro yang kini tengah salah tingkah takut kalau kegiatannya tadi di ketahui oleh Jasmine.
“Hmm … kau butuh sesuatu.” Jasmine menggeleng.
“Aku hanya ingin pulang.” Al melotot lalu menjawab, “kau bisa mengatakan itu setelah dua hari kemudian.” Bahu wanita itu merosot. Terbaring di ruangan yang biasanya ia kunjungi justru menyebalkan.“Aku sama sekali tidak berencana untuk menjadi pasien, ini menyebalkan.” Gerutu Jasmine sambil menatap Al.
“Ya, biasanya kau begitu cerewet padaku.” Al bangkit dan menuangkan air kedalam gelas sementara Jasmine berusaha bangkit.
“Kau merindukan itu.” Wanita itu tersenyum menggoda.
“Tentu saja tidak.” Al meyerahkan gelas yang kemudian di sambut oleh Jasmine.
Baru saja Jasmine akan meneguk minumannya sebuah suara bahkan mengagetkan dan hampir saja membuatnya menyembur air di mulutnya.
“OH GOD!, Apa yang menyebabkan kau menjadi pasien seperti ini.” Dave dan Calista memasuki ruangannya dan suara menggelegar tadi jelas pasti suara Dave.
Sepertinya ia belum menyadari jika di sana ada Al
“Apa pria kunyuk itu yang membuatmu begini, nuna kalau begitu biarkan menonjok wajahnya.” Dave seolah menantang sambil menggulung lengan kemejanya, sementara Calista terus saja menepuk bahu Dave sambil mengedipkan mata dan mulut seolah memberi tahu bahwa orang yang sedang di dibicarakan itu ada bersama mereka.“Ehemm …” Al berdehem sebelum menlanjutkan kata-katanya, “pria kunyuk itu ada di sini.” Lalu ia melangkah mendekati Dave. Seketika wajah pria dengan gaya bahasa sok korea tadi hanya menunduk dan memukulkan tangannya ke mulut.
“Mr. Jariz, anda ada di sini.” Ia membungkukkan tubuhnya member hormat.
“Ma … maafkan saya, saya hanya terlalu bersemangat.” Tangannya gemetar.
“Kalau begitu kapan kita ke ring tinju.” Seketika Dave membeku lalu manatap Al dengan mata sayu. lalu sedetik kemudian ia tersenyum canggung.
“Hehe … Mr. kurasa ak … aku tak terlalu pandai bermain tinju, kalau begitu ‘saya permisi.” Jasmine dan Calista terbahak melihat itu.
Setelah meredakan tawa Calista berucap “Dok … sebaiknya anda istirahat, kau harus minum obat dan kalau membutuhkan bantuan panggil saja aku, kau tidak cocok jadi pasien.” seulas senyum menghiasi bibir wanita itu.
“Kali ini aku menurut padamu, Ca.”
“Kalau begitu aku permisi.” Pamit Calista, Al dan Jasminepun mengangguk.
Sepeninggal Calista Jasmine melirik Alvaro yang sibuk dengan ponselnya.“Al, aku merindukan moli.” wanita itu memasang wajah cemberut.
“Kau bisa melihatnya setelah pulang nanti,” Al menjawab tanpa menatapnya.
“Aku akan mengatakan pada moli kalau kau papa yang jahat.” Al menghentikan aktivitasnya lalu menjawab, “aku bukan papanya.”
Perlu kalian tahu bahwa moli adalah seorang kucing kesayangan Jasmine tapi Al sangat tidak menyukai hewan itu. Kalau saja Jasmine tidak melarang mungkin kucing itu telah menjadi tulang.
“Apa tidak apa-apa kalau kutinggal sebentar.” Al memasukan ponselnya kedalam saku sambil berdiri.
“Ada apa.” Jasmine menatap Alvaro. “Ada hal penting yang harus aku urus, tidak apa, kan?” sekali lagi pria itu bertanya. Nada khawatir jelas terdengar namun ia samarkan dengan nada dingin. Jasmin tahu itu.
“Tidak apa tapi, bisakah kau menyuruh pak Jup mengantarkan ponselku, aku akan seperti mayat hidup tanpanya.” Keluh Jasmine.
“Aku akan menyuruhnya.” Perlahan tangannya mengusap puncak kepala Jasmine lalu tanpa di duga ia menghadiahi sebuah kecupan singkat di sana sebelum melenggang pergi meninggalkan ruang rawat Jasmine.
Wanita yang mendapatkan perlakuan itu hanya menatap arah pintu dengan tak percaya. Darahnya seolah membeku dan jantungnya begitu cepat berdetak.
Belum sampai jantungnya normal kini pemandangan di depannya justru membuatnya seakan jantungan sekarang.
Seorang lelaki dengan kemeja berwarna navy dan celana dasar itu kini berdiri di ambang pintu. senyum manis sekaligus khawatir tercetak di pahatan wajahnya yang sempurna.
“Mas ….” Jasmine masih tak sadar dari keterkejutannya sampai sebuah dekapan hangat menyelimuti tubuh kurusnya. Ada rasa nyaman di sana. Jasmine berusaha menetralisir jantungnya. Ia ingin menyumpahi pria ini yang membuatnya kini terbaring di atas blankar.
“Aku merindukanmu sungguh.” Luluh sudah hati Jasmine. Kemarahan yang kemarin ingin ia sampaikan kini menguar entah kemana. Kerinduan mendominasi otaknya. ia melupakan Al. Bahkan melupakan pernikahannya. dengan tangan gemetar ia membalas pelukan damai lelaki di depannya.
“Tolong beri aku kesempata, biarkan aku menjelaskan.” Suara Jasmine tercekat. ia hanya mampu mengangguk dalam dekapan. Perlahan ia mengurai pelukan lalu mengelus rahang pria itu.
“Mas, Arya.” Sekali lagi suaranya bergetar.
“Benarkah.” ia menggeleng pelan. “ini seperti mimpi.” Kristal bening mengalir deras di pipinya.
“No I’m here.” Arya mengambil tangan jasmine yang berada di rahangnya lalu mengecup lembut tangan yang kini terpasang selang infuse itu.
“Aku akan menjelaskannya, dear semuanya … ya semuanya.”
“TIDAK PERLU.” seseorang datang dengan suara beratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELUPAKAN yang MELUPAKAN
Teen FictionTujuan mereka menikah adalah untuk melupakan masa lalu. Namun semua itu tentu saja tidak mudah. Akankah mereka bisa melalui rintangan dalam rumah tangga tersebut