1. Menara Impian

5 1 0
                                    

Orang itu masuk ke kelas sambil menyiulkan lagu tema dari sebuah Taman Bermain 'Gerbang Fantasi'. Taman Bermain terakhir yang mungkin akan ditutup tidak lama lagi karena peminatnya yang sudah berkurang drastis sejak teknologi Realitas Maya berkembang pesat. Orang-orang tidak lagi pergi ke Taman Bermain yang sesungguhnya tapi mereka malah bermain di dalam Dunia Maya. Tinggal menggunakan sebuah perangkat di kepala lalu kau akan bisa merasakan sensasi yang sama persis dengan menaiki wahana yang sebenarnya, bahkan lebih. Alasan keamanan juga menjadi salah satu keunggulan dari perangkat ini.

"Lev, berminat ke 'Gerbang Fantasi'?" katanya begitu bersemangat.

"Tidak,"kataku.

Wajahnya sedikit cemberut. "Takut ya?" tanyanya. Menurutku dia gadis yang sedikit aneh. Yah, setidaknya wajahnya lumayan manis. Dia mungkin satu-satunya orang di kelas, atau mungkin di satu sekolah ini yang masih pergi ke Taman Bermain itu. Biasanya orang-orang yang pergi ke sana adalah para senior yang sudah berumur 50 tahun ke atas. Mereka juga pergi ke sana bukannya untuk bersenang-senang dan naik wahana yang seram-seram. Paling-paling mereka ke sana hanya untuk bernostalgia sebelum salah satu kenangan pada masa mereka benar-benar hilang.

"Aku tidak suka Taman Bermain," jawabku ketus. Sebenarnya aku bahkan belum pernah pergi ke Taman Bermain. Mungkin dia benar aku memang sedikit takut. Mungkin tidak sedikit. Aku takut ketinggian.

Bel berbunyi dan dia pergi ke tempat duduknya, terlihat sedikit kecewa.

***

"Dia menanyaimu tentang Gerbang Fantasi?" tanya Trevor sambil mengunyah roti lapisnya.

Aku mengganguk sambil menyedot susu kotakku.

"Kau orang kesekian yang dia tanya." Trevor menggeleng-geleng dengan wajah meremehkan. "Ah, tempat itu payah. Gimana kalau ikut denganku saja ke 'Menara Impian'? " tanyanya.

"Mungkin lain kali," jawabku.

"Yakin?" tanyanya lagi. "Khusus hari minggu ini ada bintang tamu khusus... ."

"Oh ya. Siapa?" tanyaku sedikit penasaran. Tapi siapa pun itu aku tidak akan pergi.

"Akia Fao ," katanya bersemangat. "Kalau mau aku bisa belikan tiketnya sekarang juga," katanya sambil menggoyang-goyangkan tangan kiri di mana gelang ponselnya berada sambil tersenyum menyebalkan.

Tiket masuk ' Menara Impian' tidak murah juga. Dan lagi aku tidak suka satupun permainan di sana. Tapi kalau ada Akia Fao..

"Ikut," kataku sambil mengangguk-angguk.

"Semoga masih dapat," katanya sambil membuka laman 'Menara Impian' pada projeksi ponselnya.

***

Baru kali ini aku datang ke 'Menara Impian'. Sebenarnya dari tampak luar gedung ini biasa saja. Gedung besar berbentuk mengerucut ke atas dilapisi layar hologram hampir di seluruh permukaan gedungnya. Layar-layar itu menampilkan tayangan cuplikan-cuplikan wahana mengerikan di dalamnya. Di bagian atap gedung itu ada sebuah menara antena yang menjulang tinggi.

Trevor menyuruhku datang lebih awal sebelum pintu gerbang dibuka supaya tidak harus mengantri lama-lama. Tapi dianya sendiri datang setelah kami - aku dan Lucas - menunggu tiga puluh menitan. Akibatnya kami berada di tengah-tengah antrian ular sekarang. Lucas asik melihat ke sana kemari mencari cewek-cewek cantik yang bisa dia incar. Tapi dia kelihatannya agak kecewa karena kebetulan kebanyakan yang datang hari ini adalah cowok atau cewek yang datang dengan pasangannya.

Pukul sebelas lewat akhirnya kami tiba di Aula Utama. Sudah banyak orang-orang di sana berdiri mengelilingi sebuah panggung bundar di tengah aula. Seorang pria dengan jas bermotif segitiga warna-warni yang sangat norak berdiri di tengah panggung. Suara ocehan bersemangatnya membahana di seluruh ruangan, diikuti suara riuh para penonton lalu.. layar hologram bulat besar muncul di atas panggung.

Fantasy's GateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang