2

43 3 0
                                    

Keributan di aula Adrilland sangat mengusik telinga karena ada seribu lebih murid berebut kursi untuk mengikuti pertemuan besar itu. Aula tersebut, seperti juga gedung Adrilland lainnya. Struktur bangunannya sangat bergaya. Kursi depan dilapisi bludru merah terang dan hanya di peruntukkan bagi murid-murid senior. Murid-murid tahun pertama tidak berani mendudukinya. Murid tahun kedua menempati bagian tengah dan samping aula. Murid-murid kelas sepuluh mengambil tempat di belakang. Aula itu juga memiliki balkon tapi jarang digunakan kecuali ada acara yang mengikutsertakan seluruh sekolah seperti sekarang.

"Adifah, Adifah, fifa!'' seseorang berteriak dari dekat panggung. Tanpa harus melihat, Adifah sudah tahu siapa itu. Sahabatnya Brayen ketua klub Drama dan terkenal sebagai orang yang suka bergurau. Hanya dia yang memanggilnya Fifa. Brayen lebih tinggi di antara para cowok di timnya, oleh sebab itu walau Brayen di lihat dari belakang dia mudah dikenal.
Gaya menari Brayen yang sangat lentur dan suara tenornya yang indah membuatnya selalu mendapat peran di semua drama musikal.

Adifah mencoba mencari jalan di antara kerumunan murid-murid. Sebentar-sebentar ada yang menepuk punggungnya dan berkata. "Semoga sukses, Adifah. Aku memilihmu. "Dia ingin mengobrol dan berbicara dengan semua pendukungnya tapi tidak bisa karena Ninra terus mendorongnya sepanjang lorong

"Jangan mendorong keras-keras,"
protes Adifah.

"Nanti aku jatuh atau menabrak seseorang."

Tapi Ninra malah mendorongnya lebih keras lagi.

"Brayen menyiapkan kursi untuk kita di depan, dan kalau tidak cepat- cepat nanti diambil orang. Kau tau kan tim pemandu sorak, mereka selalu pingin paling depan."

Langkah mereka terhenti ketika dihadang pemandu sorak yang sedang naik ke punggung temannya. Si pemandu sorak melambaikan tangan bersemangat dan berteriak. "Adifah kami selalu mendukungmu!" kata pemandu sorak.

"Makasih, Sara." Adifah balas berteriak mengalah suara bising yang ada di sekitarnya. "Kau baik sekali."

Tiba-tiba tangan panjang yang kurus terulur dari belakang Sara, menarik Adifah melewati sepasang kekasih yang sedang berciuman.

Adifah berhadap berhadap__atau lebih tepatnya wajah berhadapan dada__dengan Brayen.

"Brayen! Kenapa sih aku harus duduk di depan?" teriak Adifah mengatasi suara ribut murid-murid lain. "Ramai sekali!"

Brayen menunjuk ke atas dengan ibu jarinya. "Aku diam-diam sedang mengontrol lampu."

Jauh di atas mereka ada seorang cewek mungil berambut coklat pendek dan menggunakan mantel bertudung, melambai dari ruang listrik.

"Rinda akan meneragimu dengan lampu sorot ketika aku mengumumkan pencalonanmu," Brayen menjelaskan. "Dia harus tahu dimana tepatnya kau akan berdiri nanti. Kita perlu latihan."

Adifah melihat Brayen sudah menyediakan kursi di bagian tengah paling depan. Brayen membuat pencalonan dirinya kayak pertunjukan. Adifah berjalan tiga langkah dari kursinya dan melambai kepada Rinda. "Bagaimana kalau di sini?"

Rinda mengarahkan lampu dan menyorotnya, kemudian menerangkan cahaya sedikit.

"Jangan lihat ke atas," Brayen memperingatkan Adifah. "Aku nggak ngomong akan menggunakan lampu sorot pada Mrs. Teana. Pasti dia akan kesal, tapi paling-paling cuman sebentar."

"Aku tahu," kata Brayen sambil nyengir. "Itulah sebabnya semua cewek mencintaiku."

Adifah menarik jaket Brayen. "Eh si Al sedang berjalan ke mikrofon. Kita duduk yuk."

Perfect StrangersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang