XVII [Hell]

99 11 19
                                    

Kalah bukan berarti lemah, hanya saja ingin menunjukkan pada dunia bahwa perjuangan tak harus selesai dengan sekali sentakan, butuh banyak latihan dan persiapan yang matang untuk meraih sebuah kemenangan.

《》

Tanpa ba-bi-bu ala gebetan yang lagi pedekatean, ia melangkah menuju cewek yang pipinya sedang merah padam. Tanpa peduli norma kesopanan, Senin memandangnya sinis dari bawah sampai ke ujung rambut.

"Lo ngapain, sih?!" Belum juga ada sapaan, pengegasan sudah jadi awal pembicaraan. "Halah bodo amat, ayo keluar! Cepetan dong, lemot banget kayak cewek!" seru Ninda sambil mendorong tubuh Senin agar keluar dari ruangan ini.

Masih dengan tatapan menyelidik dengan bersedekap tangan, Senin memandang Ninda tanpa kedip sama sekali. Hanya gerakan geleng-geleng dan decakan yang sedari tadi ia lakukan.

"Harusnya gue yang tanya, lo ngapain di sini?" Senin tersenyum sinis, ia akan menghabisi cewek bar-bar itu.

"Gu ... gue?" tanya Ninda sambil menunjuk diri sendiri, "Gue la ... lagi mau latihan taekwondo! Nah, benar latihan! Lah, lo ngapain? Lo bukan atlet sini, kan? Jangan-jangan lo mau maling, astaga, gue harus lapor nih!" cerocos Ninda tiada henti sama sekali.

Sebelum namanya diinjak, ia harus berani menguak. "Udah deh gak usah bohong lagi! Lo pakai barang itu, kan?"

Kerutan di dahi Ninda terlihat jelas bak ombak yang sedang berhenti beberapa saat diiringi satu alis yang terangkat. Ia tampak bingung dibawa ke mana pembicaraan ini.

"Barang apa? Kuncir rambut, emang gue makai dari dulu kali," balas Ninda seadanya.

Senin tertawa sinis bukan main, rupanya cewek ini masih mau bermain-main dengannya. Baiklah, akan Senin tunjukkan apa itu permainan sesungguhnya.

"Gini, nih, kalau udah ketahuan sok gak ngerti, sok polos! Lo makai narkoba, kan?"

Plak!

Tersadarlah bahwa yang merasa tak bersalah sedang ditampar si terduga, dengan ekspresi polos ia mengelus pipi si korban penamparan.

"Lo kok nampar gue, sih?! Kan, lo yang salah, kenapa jadi gue yang kena?! Heh, Barpes, lo pasti dalam naungan benda haram itu, lagi gak sadar nih anak! Astagfirullah, dosa makai gituan, kasian juga orang tua dan masa depan lo! Sadar, Pes!" Senin persis seperti ustaz yang merukiah orang kesetanan.

"Astagfirullah, rabbal barayah
Astagfirullah, minal khatayah
Rabbi zidni ...." Ninda langsung menggeser tombol hijau itu agar tak berdering terus.

Terdengar seruan pulang dari si penelepon bernama Andlro, Ninda hanya mengiyakan padahal setelah ini ia langsung menuju kediaman Anggara. Cowok itu tidak mau dibawa ke rumah sakit, katanya bau obat.

Tanpa berniat mendengar kultum dari Pak Kyai Haji Andlro, ia menutup panggilan telepon sepihak.

"Nada dering itu diresapi, bukan cuma buat nyari sensasi," komentar Senin. Cowok itu mengira kalau Ninda memakai nada dering itu agar semua orang mengira bahwa cewek itu adalah cewek baik.

Kerjaan si Andlro, nih, pasti! Tuh anak sialan banget! Lagunya Mbak Halsey diganti shalawatan, habis sudah gue jadi bully-an si Senin.

"Lo ngomong apa, sih, dari tadi? Gak jelas dan gak ada yang benar sama sekali. Catat itu, gak benar sama sekali! Lagian gue masih waras buat coba tuh barang, apalagi gue telah resmi jadi bagian sobat misquen."

Senin tertawa pelan mendengar akhir ungkapan Ninda, rupanya jadi sobat misquen bisa jadi faktor kebanggaan versi cewek bar-bar. Tak lama setelah sadar bahwa ketawanya adalah hal salah karena di waktu yang tidak tepat, ia langsung mengatup bibirnya.

SeninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang