XX [SENAM Tahu?]

97 14 4
                                    

Kesakitan bisa datang tanpa diundang, maka bersiaplah tanpa ada kata lengah.

《》

Ninda benar-benar muak, majikannya terlalu jahat tanpa membiarkannya istirahat sejenak. Untung ia tipikal bawahan pembangkang, kalau tidak bisa disiksa habis-habisan.

Sebenarnya ia hendak ke gedung sport center untuk melihat pertandingan basket, tapi ia malas karena tidak ada yang bermain dari anak kelas. Maka dari itu, ia memilih kembali ke kelas.

Tak biasanya kelas XI IPS 6 tampak tenang tenteram dalam ruangan tanpa ada kebisingan, padahal jam sedang kosong. Tubuh Ninda menegang saat memasuki ruangan, keringat di dahi mulai bercucuran. Ketakutaannya menyerbu secara instan.

Apa Senin telah membuktikan ucapan tentang ancamannya?

Otak Ninda berlari ke arah sana, pada peraturan ke tiga yang menyebutkan bahwa ia tak boleh pergi tanpa persetujuan langsung oleh Senin. Dia bilang akan membeberkan rahasia besar miliknya pada anak SENAM.

"Gue gak nyangka, ternyata lo ...," ujar Stelies sengaja digantung dengan raut wajah kecewa yang begitu kentara.

Deg! Apa mereka sudah tahu?

Ninda menarik napas dalam lalu mengembuskan, perasaan takut mulai menyerang semakin besar. Jari-jari sengaja diremas untuk menyembunyikan rasa cemas yang berlebihan. Jika memang benar, ia tak tahu harus bagaimana lagi untuk mendapat maaf dari teman sekelas. Uang yang ia kumpulkan belum cukup untuk mengganti uang kas.

"Lo gila, Nin, tega lo, bangsat!" tambah Anggara dengan kilatan tajam seakan menyala di mata elang miliknya yang tampak begitu hitam.

Anggara membuat Ninda menjadi kalut, tak paham harus berkata apa untuk semua ini. Yang jelas, ia yakin bahwa Senin benar-benar menepati ucapan dari lisan yang ia tulis dalam bentuk tulisan. Mungkin, ini adalah akhir kebahagiaan di SMA, setelah ini ia akan sendiri tanpa siapa pun mau menemani.

Ninda menunduk menatap ubin lantai yang seolah membawa hawa panas ke area tubuh, keringat basah sudah di mana-mana.

"Scoundrel!"

Itu suara milik Andlro, sahabatnya yang begitu ia sayang dan paling pengertian. Seburuk itukah dirinya hingga Andlro menyebutnya sebagai 'bajingan'? Ia sadar tingkahnya sangat keterlaluan, bahkan terlampau mengecewakan. Ia diberi kepercayaan, tapi mengkhianati hanya karena benda idaman. Bodoh. Satu kata yang cocok untuk diri penuh ambisi.

"Ka-kalian ke ... kenapa?" tanya Ninda gugup, memastikan dugaan yang sedari tadi diterka tanpa ada titik pasti.

Mereka tak ada yang menjawab, hanya diam sambil tersenyum sinis di bangku masing-masing. Tak peduli lagi dengan keberadaan Ninda, mereka kembali ke aktivitas masing-masing tanpa sungkan ataupun kasihan.

Ia meringis pelan menyaksikan canda tawa mereka tanpa dirinya di tengah, biasanya Ninda yang paling ramai bersama Anggara. Tapi, sekarang lihatlah! Untuk sekedar menatap saja Anggara ogah, cowok itu bermain kartu di belakang bersama anak cowok lain.

Ninda baru sadar ketika pandangannya ke arah depan, tas biru tua yang ia punya telah berpindah tempat di depan meja guru, entah siapa yang memindahkan. Kursinya yang dulu dihuni oleh penghuni yang duduk di kursinya sekarang. Ia meringis untuk kedua kali, semua telah ia hancurkan dengan tingkah konyol.

SeninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang