Gelap menghitam, langit malam meredup menyisakan sakit semencekam dibelit ular raksasa bersisik. Taring itu, mana mungkin bisa ia lupakan. Tatapan mata merah dan desis berbau kematian, ditambah dengan jarak ia berdiri yang begitu dekat.
Tapi yang lebih menyeramkan daripada itu adalah, ia tidak bisa berbuat apapun dengan adanya seorang kakek tua yang tidak berdaya tengah diremas ular itu. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk menolongnya. Kalau ia nekat maju, ia juga pasti bertemu taring makhluk berlendir itu. Tapi kalau mundur, bagaimana nasib orang itu nanti?
Semakin ia berada di sana, semakin bergetar jiwanya. Jantungnya berdegup semakin cepat menyadari ada satu bayangan tiba-tiba muncul dari belakang ular itu, seperti memberikan tanda ancaman. Ia harus keluar dari sana! Tapi bagaimana dengan kakek itu? Tatapan meminta tolong itu. Bagaimana jika ia yang berada di posisi kakek itu? Apakah ada yang akan menolongnya?
Dheg! Ia tidak tahu mana yang membuatnya kaget setengah mati. Suara keras retakan tulang, atau ketika kakek itu meratap memanggilnya, “Yuda!”
Surabaya, 2019
Teriakan M. Shadows membarengi seorang Ardiona Hengkara terbengong heran melihat adiknya yang basah kuyup di kasurnya. Sambil terpingkal, ia menghampiri adiknya, “Habis pulang renang dari mana, Jen?”
Bukan malah menjawab, Yuda justru beranjak dari kasur, langsung berjalan menuju sumber kekacauan. Yudistira Rajendra Hengkara. Orang-orang memanggilnya Yuda, tapi hanya beberapa orang yang memanggilnya dengan nama tengahnya, termasuk abangnya yang satu ini.
“Ngapain dimatiin, sih?”
“Berisik, woy! Mana ada orang waras pagi-pagi muter Linkin Park?!”
Dengan terbahak, Ardi mengusap matanya yang berair, “Itu lagu Avenged Sevenfold, Bambang.”
“Bodo, ah! Jam berapa nih? Gorden ditutup-tutup mulu. Pantesan kamarnya jorok!” Yuda membuka tirai agar kamar itu tersentuh mentari pagi.
“Lah, yang mau tidur di sini kemarin siapa? Kamu ngapain, sih tidur di sini mulu? Mimpi lagi?”
Sejak seminggu belakangan, Yuda sering bercerita tentang mimpi buruk yang dialaminya. Sebagai kakak, Ardi tentu merasa kasihan melihat adiknya menjelma menjadi siluman panda kurang tidur, dengan lingkarang hitam di sekitar mata.
“Capek tau, Bang. Mimpi-mimpi ga jelas tiap malam.”
“Kan udah aku bilangin, kamu itu kebanyakan baca cerita KKN penari ular, makanya kebawa mimpi terus.”
Apaan, sih. Males, ah.”
“Coba, deh tengok hp-mu. Dari tadi berisik suara boyband Korea.”
Sebuah bantal mendarat tepat di muka Ardi, diikuti seruan Yuda yang tergopoh keluar kamar “Ringtone-ku opening Naruto tauk!”
***
Tempat itu pernah menjadi saksi sejarah yang akan selalu terpatri di kenangan orang Surabaya, bahkan dunia.
Ketika mendengar nama Hotel Oranje atau sekarang lebih dikenal dengan nama Hotel Majapahit, orang pasti akan mengingat aksi heroik pemuda Surabaya yang menurunkan paksa bendera Belanda yang saat itu masih memerintah di Surabaya.
Sekarang tempat itu menjadi salah satu heritage dan tempat menginap berbintang 5.
Di hari Minggu, jalanan itu membeludak mengingati satu hari dalam satu minggu tanpa polusi kendaraan atau kalau diterjemahkan menjadi car free day.
Di trotoar, tempat banyak penjual dan pembeli, tiga orang duduk berselonjor.
“Jadi kita mulai dari mana cerita horor ini?" Yuda berceletuk
“Kan, kamu yang buat ide pake tema horor!”
1 minggu sebelumnya.
“Kelompok 4?” Seorang yang terlalu berpakaian minim untuk pekerjaannya sebagai dosen tengah membenahi kacamata sambil tunjuk-tunjuk bangku mahasiswanya. Entah apa yang para mahasiswa pikirkan.
“Lingkungan, Bu.” Perwakilan kelompok menjawab, sambil sesekali ia menelan ludah.
“Lingkungan, ya?” Dengan sedikit mendesah, dosen itu menjawab, “Mau diapakan tema lingkungan itu?”
Dengan resahnya, perwakilan kelompok itu menjawab, “Ee, nanti akan kami diskusikan, Bu.”
Sambil menggelengan kepalanya, dosen itu melanjutkan absennya. “Kelompok 5?”
Berdirilah satu bernama Tirto Adhiatma. Orang dengan kepercayaan diri tingkat selebriti menjawab lantang dan pasti, “Horor, Bu.”
Semua orang di kelas itu takjub. Lebih tepatnya berusaha bersikap wajar saat tawa mereka akan menghambur bebas.
“Kamu mau buat apa horor ini? Banyak sudah cerita horor di banyak website, blog, atau apapun itu. Mana ada majalah yang mau mengangkat kisah dukun santet beranak dalam lahat?”
Seketika percaya diri Tirto meluruh macam gunung es terpapar pemanasan global. “Nanti akan kelompok kami diskusikan, Bu.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemani: Antara Jiwa dan Pengorbanan
HorrorSeorang Laki-laki yang lahir dari keluarga ningrat, yang menjalani kehidupannya dengan normal layaknya orang pada umumnya. Beredarnya kabar bahwa keluarganya memiliki pesugihan membuat hidupnya dikelilingi tatapan-tatapan tajam dari orang-orang di s...