Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya terpikir untuk berada di penjara. Mengunjunginya pun enggan. Tapi hari ini, Rekta mengajaknya ke kantor polisi tempat Komandan Hari Perwira bertugas.“Selamat pagi, komandan.” Sapa Rekta.
“Selamat pagi, Mas.” Komandan Hari menyalami Rekta dengan sangat sopan, menggunakan kedua tangannya.
“Oh, ya. Kenalkan ini Yuda. Dia akan menjadi wakilku melakukan investigasi.”
Yuda terkaget sendiri mendengar kata “Wakil” dan “Investigasi”. Ingin ia bertanya atau sekadar menyangkal, tapi ia terlalu sungkan karena posisinya. Dirinya terlampau asing untuk bicara.
“Wah, beruntung sekali saya. Semalam ada laporan kejadian pembunuhan. Tidak diketahui motif membunuhnya seperti apa dan bagaimana korban dibunuh. Tapi kondisinya sangat memprihatinkan. Komandan Hari memelankan suaranya.
“Pak, ini apa-apaan? Investigasi apa, Pak?” Yuda terliat semakin gusar.
“Biasanya kami meminta jasa Mas kalau penelusuran kami sudah buntu. Tapi Mas bisa melihat sendiri jenzahnya di rumah duka.”
“Tidak dilakukan diotopsi?”
“Keluarganya tidak mengizinkan. Lagipula hari Minggu ini, semua keluarganya libur kerja sehingga bisa hadir dan menyaksikan langsung pemakamannya. Mereka tidak mau kasus ini diperpanjang.”
Karena Komandan Hari tidak bisa menemani Yuda dan Rekta ke rumah duka, maka ia mengutus asisten pribadinya bernama, Budi Hamzah, agar ikut menemani Yuda dan Rekta ke rumah duka, yang lalu disusul ke tempat di mana korban ditemukan tidak bernyawa.
***
Pagi hari, adalah kesempatan untuk Ningsih berbelanja sayur ke di pasar, sekaligus kesempatannya untuk bertemu pacarnya.“Nanti saya agak lama, ya, Bu.” Pintanya malu-malu kepada Kana Jayanti.
Kana tersenyum maklum melihat asisten rumah tangganya yang bersemu kemerahan. “Nggak sampai 30 menit, ya. Nanti saya nunggu di mobil.”
Setelah parkir, keduanya pun berjalan memasuki pasar. Mekipun bisa dikatakan sebagai orang kaya, tapi Kana lebih sering berbelanja di pasar ketimbang di supermarket. Ia selalu bilang ke Ningsih bahwa ia dulu bukan siapa-siapa. Ia hanya beruntung bertemu Lingga dan bisa membangun rumaah tangga sampai sekarang. Kana tidak ingin, meskipun ia bergelimang harta, ia ingin tetap mengingat masa-masa susahnya dulu.
Setelah berbelanja banyak dan memasukannya ke dalam mobil, Ningsih kemudian meninggalkan Nyonya-nya dan pergi lagi untuk menemui pacarnya yang datang bersama dari kampung. Mengadu nasib di Ibukota Jawa Timur. Ningsih menjadi asisten rumah tangga keluarga Lingga sudah 4 tahun lamanya, sementara pacarnya adalah seorang satpam bank di sebelah pintu masuk pasar.
“Aduh, gantengnya pagi-pagi begini” Nigsih menyapa pacarnya yang terlihat gagah dalam setelan baju satpam ketat dengan dihiasi sedikit peluh dan pancaran sinar matahari, membuat Ningsih ingin selalu menghabiskan waktu bersamanya.
“Kamu juga cantik. Kamu nggak lama, kan di sini?” Raut pacarnya seperti menunjukkan kekhawatiran yang ia tidak bisa tutupi.
Ningsih membaca itu dengan jelas dan kemudian bertanya sama khawatirnya, “Kamu kenapa? Sakit?”
Ridho, pacar Ningsih tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan yang mengganggunya sejak ia mendengar kabar tidak enak tentang keluarga tempat Ningsih bekerja.
“Kayaknya kamu jangan kerja lagi, deh sama Pak Lingga.” Kata-kata itu meluncur tak tertahan.
Terkejut dengan perkataan Ridho, Ningsih menggelengkan kepalanya dengan ekspersi kebingungan. “Memangnya kenapa?”
Seorang nasabah berjas hitam dan memakai kacamata, memasuki bank. Ridho memberikan salam, kemudian membukakannya pintu kepada nasabah tersebut, lalu kembali menemui Ningsih.
“Aku jujur khawatir sama kamu. Memangnya kamu tidak tahu, mereka, kan pake pesugihan. Aku takut mereka mencari tumbal.”
Tergelak Ningsih mendengar pernyataan yang terdengar konyol keluar dari mulut pacarnya. “Mana mungkin Bu Kana make yang begituan. Ini, tuh Surabaya, Mas, bukan di kampung. Aku tahu, kok Pak Lingga itu kaya banget dari hasil kerja kerasnya sendiri. Nggak baik, ah berperasangka kayak gitu. Lagian aku udah kerja sama mereka lama. Nggak ada yang aneh-aneh, tuh.” Ningsih menoyor lengan pacarnya.
“Kamu yakin?” Ridho masih gusar.
“Yakin. Kamu nggak perlu khawatir. Jangan ternakan sama yang namanya hoaks.”
“Awas kalo kamu sampe kenapa-napa. Libur nanti aku ke rumah Pak Lingga. Biar aku cek sendiri.” Ridho berkata yakin.
“Iya, sayang. Kan kamu juga udah sering ke rumah Pak Lingga. Mana ada kamu pernah lihat yang namanya aneh-aneh.”
Gawai milik Ningsih berbunyi keras melagukan ‘Gelang Kalung’ yang ia pasang sebagi ringtone. Kemudian mengengkatnya. “Inggih, Bu. Ini mau jalan ke sana.”
“Udah, ya. Aku dipanggil Ibu. Jangan lupa liburan nanti datang, ya. Bawa paranormal sekalian. Ningsih terkikik sendiri kemudian berlalu sambil melambaikan tangan.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemani: Antara Jiwa dan Pengorbanan
HorrorSeorang Laki-laki yang lahir dari keluarga ningrat, yang menjalani kehidupannya dengan normal layaknya orang pada umumnya. Beredarnya kabar bahwa keluarganya memiliki pesugihan membuat hidupnya dikelilingi tatapan-tatapan tajam dari orang-orang di s...