Hari itu Yuda dan Ardi tidak masuk kuliah. Cantika menemani Ardi yang masih tertidur di kamarnya.
Dengan langkah berjinjit-jinjit karena tidak mau ketahuan Yuda, Cantika menaiki tangga. Namun di tengah perjalanan menaiki lantai atas, ia dipergoki Yuda.
“Diam-diam banget, nih masuknya.”
Seperti maling tertangkap basah, Cantika menunjukkan cengiran lebarnya. “Tadi dikasih masuk sama Pak Hamdan.”“Sama Mbak Nining dibukain pintu?”
“Udah whatssapp tadi.” Semakin memerah wajah Cantika.
Seperti maklum, Yuda mengangkat bahu dan mempersilakan Cantika naik ke lantai atas. “Tadi, Abang pesen, kalau ada Mbak Cantika, suruh asuk aja. Tapi jangan aneh-aneh lho, ya. Ntar masuknya bawa kondom lagi.” Yuda terpingkal sendiri mengatakannya.
Yuda memang sudah hafal kelakuan Abangnya yang satu itu. Setiap kali pacarnya diajak ke rumah, pasti begitulah kelakuannya.
Yuda hanya berharap, Ardi sedikit lebih serius di kehidupannya. Punya keluarga kaya belum tentu menjamin hidupnya kelak.
***
Engakulah purnama yang ditelan gelapnya awan malam.
Mengendalikan angin layaknya kau ingin tampil sendirian menyaingi bintang-bintang.
Kau sisihkan semua awan itu lalu berpura-pura menerangi Bumi agar dapat dilihat sendiri.
Kilaumu memang lebih benderang dibanding kilau-kilau disekitarmu.
Tapi kau hanya lupa. Sinarmu juga berasal dari bintang bernama matahari yang akan selalu kau abaikan keberadaanya.
Selarik puisi Tirto temukan tak sengaja mengganjal di balik papan tulis kelasnya hari itu. Dilihat dari kertasnya yang usang, ia menduga puisi itu sudah berada lama di balik papan tulis white board di kelasnya.
“Rik, lihat, deh.” Tirto menunjukkan kertas itu kepada Carika yang kemudian membacanya.
“Kayaknya kita harus kasih tunjuk Yuda, deh. Dia, kan punya” Bingung meneruskan kalimatnya, Carika menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apalah itu.”
“Emang Yuda cenayang? Lagian apa urusan kita sama kertas itu. Aneh-aneh aja, deh.” Tirto beranjak menuju kursinya.
“Memang kamu nggak dikasih tahu Pak Ireng?”
“Apaan?” Tirto menyimak dengan serius.
Lalu Carika menceritakan alasan Yuda pingsan di mal, dan kejadian-kejadian janggal yang kerap membuat Carika dan Tirto bingung. Seperti ketika suka berbicara sendiri ketika ditinggal kedua temannya, padahal mereka sedang mengawasi.
“Jangan-jangan pas liburan bareng ke Jogja itu...”
“Itu juga salah satunya.”
Kenangan mereka berdua terlempar ke beberapa tahun lalu saat liburan semester awal, yang berencana liburan bersama dengan 10 orang temannya beserta Yuda ke Yogyakarta.
Yuda yang kerap berkata bertemu ular besar kemudian berubah wujud menjadi sosok cantik, yang membuat teman-temannya menertawainya dan menganggap Yuda bertemu Nyi Blorong ala-ala.
Saat senja hari itu di Parang Tritis, Yuda memilih untuk tidak ikut, karena laut sedang tidak tenang. Padahal hari itu sedang terang dan matahari tenggelam di Parang Tritis sangat tidak bisa diabaikan.
Namun kemudian, awan gelap bak tak diundang, datang bergerombol disertai angin kencang yang menerbangkan plastik dan dedauan ke berbagai arah. Disusul guntur yang menggelegar diiringi hujan lebat dan naiknya ombak ke permukaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemani: Antara Jiwa dan Pengorbanan
HorrorSeorang Laki-laki yang lahir dari keluarga ningrat, yang menjalani kehidupannya dengan normal layaknya orang pada umumnya. Beredarnya kabar bahwa keluarganya memiliki pesugihan membuat hidupnya dikelilingi tatapan-tatapan tajam dari orang-orang di s...