Karena kematian tanggungan pribadi, bukan milik siapapun untuk disudahi...Lagu Peradaban oleh Feast, mengalun pelan terdengar dari kamar Ardi. Di saat semua orang rumah pergi dan hanya ada dia sendiri, itulah kesempatannya untuk menikmati waktu bersama Cantika Kusuma. Cewek Ardi yang dipacarinya sedari awal masuk semester akhir.
Dibalut selimut putih, tubuh keduanya saling menjalin, berpuntir dan menggebu. Seolah hanya mereka yang bisa mengendalikan pusaran waktu. Menikmatinya selagi bersama dan mengukir kenangan-kenangan halus di setiap uap panas yang menguar dari tubuh keduanya yang bermain cepat dan lambat, mengiringi jatuhnya peluh yang semakin licin menuruni hasrat mereka.
Selimut itu dibuka bersama sebuah suara kecipak yang menggetarkan. Terengah-engah dibawa belaian tangan dan kaki yang saling bergesekan, sepasang kekasih beradu raga.
“Bapak-Ibumu ke mana?” Cantika bergelayut manja di dada Ardi.
Raut muka Ardi berubah mengeras, “Nggak tahu. Jangan bahas mereka dulu, ya.”Tak tahu-menahu soal permasalahan keluarga pacarnya saat ini membuat ia terusik untuk bertanya lebih jauh, tapi ia tahu benar sifat Ardi. Sekali ia berkata tidak, maka Cantika tidak punya argumen lagi untuk membantahnya.
***
Kasak-kusuk menggaungi riuh banyak orang yang tengah berdiri berbaris-baris di dalam ruangan menghadap seorang pria berjubah yang sedang terlihat akan berbicara.
“Anak pertama.” Suara itu lantang dan tegas, yang disambut sorak-sorai orang-orang di depannya.
Gempita menyambut pengumuman penting bak titah raja, semua orang di sana seperti berambisi untuk mendapatkan si ‘anak pertama’ yang disebutkan. Tapi tidak dengan satu orang yang tengah terdiam di antara keramaian itu. Benaknya diliputi kegusaran dan gaung pertanyaan, “Apakah aku bisa setega itu?”
***
Setelah kunjungannya yang terakhir, Yuda seperti menemukan sosok yang selama ini ia cari-cari dan bisa memahaminya. Tanpa ditemani kedua sahabatnya, Yuda mantap mengetok pintu rumah berukiran bunga cempaka itu.
Yuda memasuki rumah dingin itu sekali lagi, berharap apa yang ada di pikirannya tidak malah menjadi bumerang untuknya.
“Piye, Yud?”
“Saya pengin tahu, kenapa saya bisa punya...” Kebingungan dengan kata-katanya sendiri, Yuda menunjuk matanya, berharap lawan bicaranya memahami maksudnya.
Rekta hanya tersenyum, “Kamu tidak sendiri. Ada banyak orang spesial seperti kamu. Tidak tahu pasti kenapa manusia bisa lahir dengan penglihatan seperti itu.”
Yuda duduk dan mencoba meresapi setiap perkataan orang di depannya.
“Kamu tahu, Indonesia bisa dikatakan menjadi pusat energi dunia. Ada banyak jin penguasa yang disegani di seluruh dunia ini. Kamu pasti sudah tahu tentang itu, bukan?” Sambil tersenyum maklum kepada Yuda, Rekta beranjak dari kursi, masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah buku yang terlihat sudah tua umurnya. Bahkan sampul bukunya tidak menunjukkan judul atau tulisan apapun. Hanya berupa lembaran karton polos.“Kamu pasti tahu kesaktian presiden kita yang pertama. Beliau juga adalah salah satu orang yang dikasihi oleh Kanjeng Ratu Laut Selatan. Kamu tahu siapa namanya?”
“M-m, Nyi Roro Kidul. Yuda terlihat canggung menjawab pertanyaan itu.”
“Banyak orang berpikir, kalau Nyi Roro Kidul adalah penguasa laut selatan. Padahal bukan. Beliau adalah patih kesayangan Ibu Ratu, yang ditugaskan sebagai ‘menteri luar negeri’ iastilahnya. Jadi beliau yang sering keluar untuk menyampaikan pesan.”
Seperti kebingungan Yuda harus menjawab apa, ia seperti malu-malu. “Pak, saya mau tanya. Apakah keluarga saya itu memelihara jin?” Suara Yuda tertekan mengatakan hal barusan kepada orang yang asing. Tapi entah bagaimana, hanya orang itu yang bisa Yuda percayai saat ini.
Dengan santai, Rekta menjawab, “Kamu bisa melihat, harusnya kamu tahu ada apa saja di rumahmu. Bukan begitu? Kamu lihat apa saja di rumahmu?”
“Macam-macam. Ada wanita berbaju putih, kepala pocong yang tahu-tahu muncul di microwave, hantu-hantu melayang dengan muka tidak jelas. Tapi saya rasa, itu semua levelnya rendah dan, mana mungkin bisa dibuat pesugihan?” Seperti menelan pil pahit, Yuda mengatakan itu semua. “Ada satu yang levelnya lebih tinggi.”
“Apa itu? Rekta menyimak.
“Genderuwo setinggi pohon asem di depan jalan rumahku.”
Seperti kasihan dengan Yuda, Rekta menyerahkan buku yang ada di tangannya, sembari berkata. “Kamu baca ini. Besok ikut saya, mau? Kita cari tahu sama-sama soal rumah kamu?”
Tanpa berpikir panjang, Yuda mengiyakan tawaran itu. Mungkin sudah saatnya ia menerima kemampuan matanya sekaligus menerima fakta keluarganya yang mungkin akan menyakitinya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemani: Antara Jiwa dan Pengorbanan
TerrorSeorang Laki-laki yang lahir dari keluarga ningrat, yang menjalani kehidupannya dengan normal layaknya orang pada umumnya. Beredarnya kabar bahwa keluarganya memiliki pesugihan membuat hidupnya dikelilingi tatapan-tatapan tajam dari orang-orang di s...